Hai,
apa kabar kamu? Kupikir kalau saja kita masih bersama, pasti kita lebih banyak
diam. Diam karena saking bingungnya mengungkapkan rasanya seperti apa saat
akhirnya manik mata kita boleh berjumpa. Meski kita terpisah ratusan kilometer
jaraknya, deret kataku dalam doa selalu mengiringimu setiap harinya.
Aku
senang, tau kamu baik-baik saja. Aku senang akhirnya kamu punya waktu yang
cukup mengejar mimpimu, Aku senang karena kamu akhirnya punya ruang untuk
berbicara tentang jarak yang harus diperjelas dengan diamnya kamu padaku.
Setidaknya aku tau, mungkin kamu butuh waktu untuk sendiri, sementara. Atau
tidak lagi benar-benar denganku, selamanya.
Tentu
berat bagiku, terseok-seok melangkah setiap harinya tanpa ada satupun pesanmu
muncul di notifikasi layar gawaiku. Tentu susah rasanya, menahan buncah rindu
yang rasanya mau meledak begitu saja. Berlari kepelukanmu, adalah satu-satunya
obat untuk setiap rasa yang menggelitik tentang cinta. Sayangnya, mungkin hal
yang sama tidak lagi ada untukmu.
Maafkan
aku yang selalu bernostalgia tentang kita setiap malam. Berandai-andai kamu
menjagaku sampai aku terlelap dalam tidurku. Maafkan aku yang masih saja tak
pernah bosan menangisi pesan-pesan singkatmu. Maafkan aku, jika aku belum rela
menelan kenyataan yang memuakkanku. Doakan saja, waktu bisa mengobati. Atau
mungkin kamu mau kembali?
Dalam
diam, akhirnya aku menemukanmu. Dalam doaku, aku terus mencintaimu. Mungkin
nanti, jika semesta berbalik ke arahku, kamu akan menemukan pulangmu itu ya
aku.
~dari penggemarmu, yang selalu
diam-diam memotretmu kala kita bertemu.