Melihat senyum ibu bapak di halaman
rumah dengan rambut yang mulai memutih tapi raut muka yang masih segar. Ya,
itulah harapan pertamaku saat nanti aku sampai ke rumah. Kembali ke tempat
dimana aku biasa menumpahkan dan menceritakan masalah kehidupan yang kian
pelik. Ya, aku kabur. Kabur sementara dari keberadaan angka yang siap sedia
untuk aku jejali setiap harinya di kantor. Aku kabur dari masalah laporan,
tagihan tugas dan meeting yang biasanya kugeluti setiap harinya. Aku melarikan
diri dengan legal menghindari buku rapat dan telepon client yang biasanya
kutangani hampir setiap hari. Kutarik nafasku, menggusar sebentar.
Apa kabar
hari-hariku setelah liburan ini? Kembali ke rutinitas kerja yang pasti berhasil
mengambil hampir seluruh fokusku. Hahaha, aku tertawa dalam hati. Nanti saja,
gumamku. Aku toh harus menikmati liburan ini dengan hikmad. Kualihkan
pandanganku lewat jendela dari kursi kelas ekonomi yang kududuki sekarang.
Hamparan padi yang mulai menguning. Ah, tak lama lagi istanaku, raja dan ratuku
bisa kurengkuh dalam pelukku. Segera kubuka telepon genggamku, mengetik beberapa
kata mengabari ibu kalau aku akan segera tiba di rumah. Senyum masgul
terkembang. Aku rindu masakan perempuan paruh baya yang selalu bagiku adalah
masakan terenak sejagad raya. Aku rindu membuatkan kopi bagi lelaki tertampan
sedunia. Aku rindu walau sekedar menyapu rumah yang menurutku lebih nyaman bahkan
dari istana kepala negara yang bisa aku lihat dari layar kaca. Tiit tiit,
telepon genggamku berbunyi, pesan dari ibu. Tertulis, “Iya, nak. Hati-hati ya”.
Liburan kali ini akan jadi liburan yang paling kudambakan. Sejenak menghilang
dari hiruk pikuk ibukota adalah cita-citaku awal tahun lalu, sayangnya bosku
yang berkumis tebal nan kocak itu tak memberi izin. Kupikir aku tidak akan
merindukan bos terbaikku untuk saat ini. Ibu bapak jauh lebih candu.
Kereta berhenti di sebuah stasiun.
Dengan hikmad aku lamat-lamat memperhatikan pergerakan orang-orang. Mulai dari
penjual kacang dan mie instan yang berkeliaran menjajakan dagangan mereka,
penumpang-penumpang yang baru turun dengan banyak sekali barang bawaan sampai
beberapa laki-laki metropolitan dan nona-nona sosialita yang kutebak mereka
agak berat harus naik kereta. Entahlah, aku tak ingin memikirkan mereka lebih
jauh. Aku kembali mengedarkan pandanganku kesekeliling. Kulihat seorang ibu yang
kuduga umurnya masih akhir 20an dengan lampin membungkus buah hatinya yang
masih balita. Dari pandanganku, anak itu terlihat imut sekali dengan kompeng
yang berwarna pink terang itu. Ibu muda itu men-ssh kan bayinya. Keringat ibu
itu mulai bercucuran. Namun semangatnya mudik bisa kulihat dari raut mukanya
yang sama sekali tak terlihat kesal bahkan lebih ke arah gembira, menatap suami
dan anaknya secara bergantian. Kau tau? Liburan berhasil menebar kebahagiaan,
khususnya bagi kami para pemudik. Kembali ke kampung halaman adalah kesempatan
emas mencurahkan rindu bagi keluarga di tempat tujuan.
Kereta meluncur kembali, lokomotif
bergerak mengejar jarak. Cess. Cess. Cess. Yes, aku sebentar lagi tiba. Begitu
terus yang kukatakan dalam hati, entah sudah berapa kali. Jarak jauh terasa
dekat karena rindu. Aku kembali disibukkan dengan pemandangan di luar jendela.
Ada 1 2 sapi yang masih berkeliaran walau hari mulai petang. Mungkin si pemilik
ternak sengaja membiarkan ternaknya menghabiskan hari-hari terakhirnya, sebelum
disembelih di hari raya pikirku. Sebentar kemudian aku bisa melihat pemukiman
dan perkampungan yang aku hafal sekali. Belum banyak yang berubah. Tetanggaku Kirana
dulu sering sekali mengajakku ke daerah ini sekedar mencari bakso Pak Triyono.
Ya, kesukaannya. Apa kabar Kirana ya? Apa dia juga pulang kampung? Kirana,
gadis seusiaku yang tempat tinggalnya hanya 3 rumah dari rumahku di kampung.
Dulu kami sering sekali mandi di sungai, memandikan kerbau, mencuri rambutan
pak Somad. Hahaha. Kirana dan aku memang dulu bersahabat baik, namun sekarang
walaupun kami tetap berkomunikasi, itu sudah jarang. Kirana dan aku sama-sama
sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku berharap dia pulang liburan ini.
Setidaknya kami bisa berkeliling di petakan sawah sambil membagi cerita
nantinya.
Lampu jalanan sudah mulai dihidupkan.
Jalanan mulai sepi. Cess. Cess. Cess. Kami tiba di stasiun pukul 06.15. Suara
adzan bisa kudengar jelas. Aku menyampirkan tasku ke samping. Segera aku
mencari tumpangan ke desa. Syukurnya masih ada angkot yang beroperasi. Aku
menyatakan tujuan. Senyumku jauh lebih lebar sekarang. Semacam orang yang baru
dapat THR 20 juta. Dua puluh menit berlalu. Aku tiba di desaku. Turun dari
angkot, kuhirup udara desa yang kucinta ini dalam-dalam. Aku melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki. Bisa kulihat anak-anak desa mulai berlarian ke
surau. Ada yang sibuk mencari sandalnya di depan rumah, ada juga yang lari
terbirit-birit dengan sarung kotak-kotaknya. Tak mau terlambat mengaji pikirku.
Desa masih sama. Masih rapi, indah dan…damai. Begitu perasaanku.
Rumahku tinggal 20 meter. Bisa kulihat
ibu bapak ternyata sudah menungguku di halaman rumah. Kupercepat langkahku. Tepat
seperti harapanku saat diperjalanan tadi, ibu bapak ada di halaman rumah
menyambutku. Rambut putih mereka semakin banyak tapi raut wajah mereka selalu
segar dengan jiwa muda. Segera kusalam ibu bapak dengan perasaan haru. Kupeluk
ibu erat-erat. Ada banyak hal yang ingin kubagi dengannya. Bapak menatapku
dengan tatapan sukacita. “Mari nduk, masuk! Kamu mandi dulu ya, ibu sudah masak
sayur asam kesukaanku,” kata ibu. “Iya, nduk. Kamu kan sudah capek di jalan”, sambar ayah sambil menenteng tas bawaanku. Dan
ibu bapak memang tidak pernah berubah, selalu penuh kasih.
Hi, kamu…selamat liburan.
Dariku,
anak desa yang selalu rindu rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar