Selamat
pagi, Minggu terakhir di 2013…
29
Desember 2013
Teruntuk,
kamu…
Aku
mungkin tak harus menyebutmu sebagai seorang sahabat, karena menurutku tak satu
orangpun yang bisa kujadikan sahabat. Aku punya cara pandang tersendiri
menyebut seseorang sebagai sahabat. Buatku, sahabat adalah dia yang rela
berkorban apapun hanya untukmu. Dan, aku tak menemukan satu orang pun yang bisa
kucap sebagai seorang sahabat.
Namun,
Jika
aku harus memilih siapa yang jadi teman terbaikku. Mungkin kamu adalah satu
diantaranya. J
Rasanya
baru sebentar ya, ya, 2,5 tahun.
Kamu,
apa pernah merasa benar-benar cocok denganku?
Aku
tau, kadang aku menyebalkan, atau mungkin teramat menyebalkan bagimu, teman.
Tapi, ya ini lah aku. Kau bisa tinggal saat kau merasa cocok dan nyaman
denganku. Tentu, kau juga bisa pergi jika kau pikir aku hanya menyusahkanmu,
membuatmu kesal, dan melakukan hal-hal buruk untukmu. Intinya, kau bisa pergi
jika kau pikir aku merugikan bagimu.
Rasanya,
ini adalah hari pertama dimana aku mengakui secara langsung bahwa aku mulai
merasa sakit.. Dan rasanya ini adalah ahri pertama dimana aku menggunakan
sosial media untuk menyampaikan maksudku padamu, karena jujur saja, aku belum
siap untuk menjelaskannya secara langsung padamu dengan detail yang demikian. Kamu
mungkin juga sakit. Kamu mungkin juga berharap bahwa ini akan jadi yang pertama
dan terakhir kan?Kamu juga mungkin menegurku lewat aksara-aksara itu
dikarenakan kamu belum pernah siap untuk mengatakannya langsung padamu. Tapi,
pernahkah kamu bertanya sampai kapan kamu akan menyimpan rasa kesalmu dan
menyampaikannya lewat sosial media saja? Sampai kapan kamu mau berdiam, atau
mungkin bisa kusebut bersembunyi dan menegurku dibalik deret ‘”a” sampai “z” mu
itu?
Kita
tentu bisa bicara secara langsung. J
Aku
tau, tulisan ini sedikit berlebihan, tapi jujur saja, kali ini aku serius.
Aku
sendiri tak tau apa yang membawaku mengungkapkannya, mungkin karena ‘kabut’
pagi ini teramat tebal di pandanganku untuk beberapa orang lainnya, dan hal itu
mengingatkanku padamu.
Pertanyaan
terbesarku, apakah aku terlalu salah?
Memakai
caption “me” “I’m just me,” sementara aku tak ada niat sama sekali untuk
meyombongkan diriku ini pada dunia yang sama-sama sedang kita jalani.
Apa
aku terlalu berlebihan dalam mengguyoni kalian dengan sedikit kekurangan itu?
Kita sama-sama menertawakan dan mempertanyakan, pun mengolok-olok diri sendiri.
Tak ada yang ingin kusakiti, sungguh. Dan tak ada alasan untuk menyakiti kalian
dengan sengaja. Tapi, maaf saja jika kamu atau bahkan mereka merasa tersakiti.
Maaf…
Kalian
sudah jadi bagian terindah bagiku untuk masa kuliah yang jelas kau tau rasanya
seperti apa, khususnya 6 bulan terakhir ini.
Lalu,
Kamu,
apa mulai kehilangan keberanian untuk mengungkapkan bahwa kamu mulai tak
menyukaiku?
Kamu,
apa mulai merasa kepayahan menyatakan kekuranganku secara langsung?
Sosial
media ada, dan kamu memanfaatkannya untuk menegurku.
Apa
kamu tau, itu menyakitiku sebagai seorang teman.
Apa
aku sudah jadi orang lain bagimu, sehingga kau sangat membutuhkan perantara
untuk menegurku?
Aku
terima saja jika itu hanya sekali, namun setalah kusadari, kamu melakukan itu
bukan hanya sekali.
Apa
aku bukan seorang TEMAN buatmu?
Apa
aku sudah jadi sosok yang patut kau benci, meski itu hanya untuk hal-hal yang
bagiku tak terlalu penting…
Aku,
sebenarnya tak mempermasalahkan pandangan orang lain terhadapku, jika ada yang
mengatakanku sombong dengan caption “me” ku itu, aku pasti akan merasa
biasa-biasa saja. Aku tak terlalu peduli dengan apa yang orang lain katakan.
Karena bagiku, tiap orang punya pandangannya masing-masing.
Tapi,
ini kamu, kamu yang mulai risih dengan keberadaan dan tingkah-tingkah tololku…
Bagaimana
mungkin jika aku tak
mempermasalahkannya?
Ini
tentang kamu, TEMANKU, bukan mereka yang lain.
Mungkin
hal ini tak perlu kukatakan, tapi asal kamu tau, aku bangga dan bersyukur punya
seorang teman sepertimu.
Tulisan
ini hanya kubuat agar kamu tau, bahwa kita TEMAN, kecuali kau tak merasa
begitu.
Mulailah
mencoba terbuka bagiku.
Aku
tak melarangmu untuk membenciku, itu hakmu.
Tapi,
tolong, jangan berpura-pura kau menyukaiku, sementara deret huruf disana dengan
gamblang menyindirku.
Menurutmu,
apa aku bukan lagi Melva yang kau harapkan?
Apa
karena kita sesama Gemini, apa kita terlalu sama sehingga hal yang kecil pun
bisa dengan hebat kita permasalahkan? Barangkali, terlalu cocok kadang justru
berpotensi untuk berkonflik. Tapi, apa kita memang pernah benar-benar cocok?
Khususnya buat kamu… :’)
Mungkin,
mereka yang lain juga tetap berpikir aku tak seharusnya seperti ini. Tapi apa
hendak dikata jika yang kurasa adalah demikian, teman?
Bagiku,
dengan menyindirku berkali-kali lewat sosial media hanya menjadikan rasa tak
nyaman ini kunjung berlanjut. Meski ini adalah hal-hal kecil bagiku. Tapi,
jelas kamu tau, jika hal tersebut ditumpuk-tumpuk. Ya, perlahan tapi pasti, itu
bisa saja membuat rasa tak nyaman diantara kita semakin berkepanjangan.
Tapi,
ini bukan berarti kau mesti diam saja saat ada hal yang membuatmu tak suka.
Justru sebaliknya, bicaralah padaku secara langsung. Sampai kapan kau
bersembunyi dibalik sosial media itu?
Paling tidak, tidak melalui sosial media.
Inilah alasan mengapa aku membeberkan apa yang kurasa sampai hari ini. J
Kamu
bisa jujur dan mengatakannya langsung.
Terimakasih,
untuk duasetengahtahun yang patut kusyukuri.
Terimakasih,
telah menjadi satu dari pendengar terbaikku.
Jujur,
aku bangga punya teman sepertimu. Dan benar, jika aku sangat tidak ingin ada
konflik yang bisa benar-benar membuat kita jauh.
Maaf,
jika aku belum jadi seorang teman yang baik buatmu.
Maaf,
jika banyak hal dariku yang mengecewakanmu.
Terikamasih,
kamu. :’)
Luv
ya…
With
love,
Melva.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar