Melva Sari Simangunsong

Dear people, this blog is not truly and merely about me n my life only. I am a random-post-writer. So I post everything in my mind.The thing that I wrote is not all about me, n not all about you. Thanks. :)

Selasa, 31 Desember 2013

Welcome to 2014

Selamat pagi, 1 Januari 2014.

Oksigen pertama yang kuhirup pada pagi yang terlalu pagi ini jelas saja masih sama dengan hari-hari sebelumnya.
Ah, selamat tinggal 2013. Kututup kemarin dengan mood kelabu dengan beberapa pertanyaan atas masa lalu.

Welcome, 2014.
Banyak pertanyaan yang muncul gitu aja pagi ini buat aku, atau bahkan buat kamu.
Apa kamu bisa jadi lebih baik, atau sama saja dengan tahun kemarin, atau bahkan lebih buruk dari itu?
Apa kesehatan akan mendukung untuk setiap aktifitas tahun ini, atau justru sebaliknya?
Atau…
Apa kesendirian bisa diakhiri tahun ini?
Apa mantan sudah bisa ditempatkan pada tempatnya?
Apa single udah jadi kesenangan tersendiri?
Apa bakal punya admirer di tahun ini?
Apa pacar yang seperti dia masih patut diperjuangkan? (for those who have a-creature-that-is-called-as pacar)
Apa duit jajan bakal naik dari tahun sebelumnya?
Apa sleepless bakal tetap jadi agenda umum tahun ini?
Well, well , well…
Every  single of us might have our own questions toward this life.

Berhenti berharap terlalu banyak dengan hal yang belum pasti!
Berhenti overthinking!
Berhenti memikirkan orang yang jelas tak memikirikan kita!
Behenti menguap di kelas!
Berhenti jajan sembarangan!
Berhenti malas makan!
Ah, oke, mungkin bukan berhenti (kalo gak bisa)>>> unconsistent.
Tapi at least, maybe you haveto try to reduce it…

To be honest, has no much inspiration in this early morning.
But then, rasanya pengen aja nge-post di hari pertamadi 2014 aku yang masih tanda tanya (?).
Yours are the same actually eventually yeaah…

Baiklah, dengan berkhirny lagu both of us yang lagi aku dengerin ini, aku juga mo mengakhiri tulisanku ini dengan pertanyaan (yang mungkin (sangat)nggak nyambung dengan itu lagu.

Are you ready to face this year heey?????

Cheers,


Melva

Senin, 30 Desember 2013

My 2013

Good morning my last day in 2013…

Aaah, kinda sweet to wake up this morning.
Even though I just sleep about four hours from 4 a.m until about 7past about. Well, then…
In this calm morning, Im gonna share you about my random thoughts toward my random life.

O yaa, semalam tadi aku tidur di kost nya Fera lho. Why? Because I wanted to do my final research of LA alias Language Acquisiiton. Ngerjain tugas bareng-bareng sama si Fera and Susi sampe subuh, dengan beberapa telfon dari temen-temen sekelas yang lain, dan jelas telfon dari mama.


Whooaaaa…
It seems that I am a SUPER woman.
Why I say so?
Itu tugasnya udah sebulan yang lalu di notice dengan dosen yang bersangkutan. But then, barulah semalam tadi aku menangis, mengenangmu, mengingatmu. Duh, bukan. Baru semalam tadi aku ngerjain yang bener-bener ngerjain itu PT alias Processability Theory.
Itu juga gegara deadline nya jatuh ini hari. LOL
Not need to imitate this one somehow guys and gurls.

Seandainya, Pienemaan nggak proposed itu theory, mungkin aku n teman-teman yang lain nggak perlu ngelakuin itu research. 
Dear, Manfred Pienemann, why you have to be that so clever one? LOL. XD

Jadi, disinilah saya dengan baju tidur hasil pinjaman dari Fera, dan ini belom mandi. Ya wajar lah kan yaa baju nya minjem, namanya juga nginep dadakan.
But then, fortunately, tetangga aku yang baik hatinya, yaitu Lega ngebawain bajuku dari Paal Merah sana ke tempat ini, Mendalo-gonna-be-city. Ayeeey. 
At least, aku gak harus pakek baju kemarin lagi. Hihihihi. XD

Di sudut kamar ini ada Helen yang lagi serius bebangetan main game. Zuma kurasa. Fera and Susi lagi ke kampus. Si Susi lupa attach file ny semalam. So, dia mau nemuin dosen LA. Duh, Susi,,, I hope all is well to you and us. Amien. :')

Duh, kebanyakan basa-basinya nya yaa.
Tapi, apapun itu seenggaknya udah lega gegara tugas LA udah sent away.

Hm,,, 2013..
What do you think about this year?

Buat aku pribadi, susah sekali rasanya untuk menjelaskan tiap inti dan detail dari tahun ini.
Rasanya, 1 tahun ini aku belum ngelakuin apapun yang disebut sebagai “resolusi” dari tahun 2012 kemarin.
For the worse, ky’ nya kemunduran aja yang ada tahun ini. L
Seriosly… L

Tahun ini…
Kurasa semester 5 ini adalah semester terberat yang udah aku jalani, ya, seenggaknya sampe saat ini. Ok, I know that next semester even be harder. Tapi, yang semester ini aja rasanya udah mo mimisan, jatuh bangun, dan  berdarah-darah gegara tugas yang buanyaaaaaaak buanget. Okay, you can say it’s as lebay. But beneran deh, semester ini bener-bener sukses buat mata pandaku makin cetar membahana luar biasa.

Go on…
Tahun ini rasanya (lagi-lagi) belum merasa jadi anak yang baik.
Pulang kuliah, ngajar,ketiduran, mandi, makan, buat tugas, tidur, lalu pergi lagi.
Yaaa, somehow I need to help my mother to do the housework ya kan ya  walaupun tugasnya numpuk kaya’ laporan keuangan perusaahaan di akhir tahun.
Mamaku udah ngoceh-ngoceh sih. Mama bingung bahkan sampe hari ini pun aku mesti masuk kuliah.
Oh, mama… that’s for real, you know.

Oke, lanjut…
Selain itu, rasanya gimana ya mo bilangnya.
I have so many privat problems that are impossible to be exposed here.
Those particular problems make me stronger at least, yaa hopefully.
Since those things happened, I wonder how I could be that one strong. It’s such a BIG WOW!

Patah hati…
Iya, tahun ini berhasil buat aku jadi single yang beneran single. Lagi bener mau sendiri. Dan emang nggak ada dekat sama siapa-siapa, dan mungkin memang nggak ada yang niat ngedekatin.  Oke, terserah. I am single, and why I have to ask it more and more?
Karena yakin –yakin ajalah kalo bakal ada yang suka n sayang sama aku selanjutnya. Entah itu kapan. Yihaaaa~~


Duh, rasanya tahun ini bener-bener miris. Banyak hal yang perlu direnungkan, tapi sadar lagi sih, aku, bahkan mungkin sebagian dari kita banyak yang cuma ngerenungin tanpa  ada real steps selanjutnya. Sampai kapan? Sampai kapan? Kapan-kapan? Ah!!!

*pukpuk*


Well, selamat datang tahun baru. 2014. Keep smiling then. Cheer up!!!


Best regards,



Melva :)

Minggu, 29 Desember 2013

Apa Kamu Mulai Kehilangan Keberanian 'Tuk Mengatakannya Padaku?

Selamat pagi, Minggu terakhir di 2013…
29 Desember 2013

Teruntuk, kamu…
Aku mungkin tak harus menyebutmu sebagai seorang sahabat, karena menurutku tak satu orangpun yang bisa kujadikan sahabat. Aku punya cara pandang tersendiri menyebut seseorang sebagai sahabat. Buatku, sahabat adalah dia yang rela berkorban apapun hanya untukmu. Dan, aku tak menemukan satu orang pun yang bisa kucap sebagai seorang sahabat.

Namun,
Jika aku harus memilih siapa yang jadi teman terbaikku. Mungkin kamu adalah satu diantaranya. J


Rasanya baru sebentar ya, ya, 2,5 tahun.
Kamu, apa pernah merasa benar-benar cocok denganku?
Aku tau, kadang aku menyebalkan, atau mungkin teramat menyebalkan bagimu, teman. Tapi, ya ini lah aku. Kau bisa tinggal saat kau merasa cocok dan nyaman denganku. Tentu, kau juga bisa pergi jika kau pikir aku hanya menyusahkanmu, membuatmu kesal, dan melakukan hal-hal buruk untukmu. Intinya, kau bisa pergi jika kau pikir aku merugikan bagimu.

Rasanya, ini adalah hari pertama dimana aku mengakui secara langsung bahwa aku mulai merasa sakit.. Dan rasanya ini adalah ahri pertama dimana aku menggunakan sosial media untuk menyampaikan maksudku padamu, karena jujur saja, aku belum siap untuk menjelaskannya secara langsung padamu dengan detail yang demikian. Kamu mungkin juga sakit. Kamu mungkin juga berharap bahwa ini akan jadi yang pertama dan terakhir kan?Kamu juga mungkin menegurku lewat aksara-aksara itu dikarenakan kamu belum pernah siap untuk mengatakannya langsung padamu. Tapi, pernahkah kamu bertanya sampai kapan kamu akan menyimpan rasa kesalmu dan menyampaikannya lewat sosial media saja? Sampai kapan kamu mau berdiam, atau mungkin bisa kusebut bersembunyi dan menegurku dibalik deret ‘”a” sampai “z” mu itu?
Kita tentu bisa bicara secara langsung. J

Aku tau, tulisan ini sedikit berlebihan, tapi jujur saja, kali ini aku serius.
Aku sendiri tak tau apa yang membawaku mengungkapkannya, mungkin karena ‘kabut’ pagi ini teramat tebal di pandanganku untuk beberapa orang lainnya, dan hal itu mengingatkanku padamu.

Pertanyaan terbesarku, apakah aku terlalu salah?
Memakai caption “me” “I’m just me,” sementara aku tak ada niat sama sekali untuk meyombongkan diriku ini pada dunia yang sama-sama sedang kita jalani.
Apa aku terlalu berlebihan dalam mengguyoni kalian dengan sedikit kekurangan itu? Kita sama-sama menertawakan dan mempertanyakan, pun mengolok-olok diri sendiri. Tak ada yang ingin kusakiti, sungguh. Dan tak ada alasan untuk menyakiti kalian dengan sengaja. Tapi, maaf saja jika kamu atau bahkan mereka merasa tersakiti. Maaf…

Kalian sudah jadi bagian terindah bagiku untuk masa kuliah yang jelas kau tau rasanya seperti apa, khususnya 6 bulan terakhir ini.

Lalu,
Kamu, apa mulai kehilangan keberanian untuk mengungkapkan bahwa kamu mulai tak menyukaiku?

Kamu, apa mulai merasa kepayahan menyatakan kekuranganku secara langsung?
Sosial media ada, dan kamu memanfaatkannya untuk menegurku.
Apa kamu tau, itu menyakitiku sebagai seorang teman.

Apa aku sudah jadi orang lain bagimu, sehingga kau sangat membutuhkan perantara untuk menegurku?

Aku terima saja jika itu hanya sekali, namun setalah kusadari, kamu melakukan itu bukan hanya sekali.

Apa aku bukan seorang TEMAN buatmu?

Apa aku sudah jadi sosok yang patut kau benci, meski itu hanya untuk hal-hal yang bagiku tak terlalu penting…

Aku, sebenarnya tak mempermasalahkan pandangan orang lain terhadapku, jika ada yang mengatakanku sombong dengan caption “me” ku itu, aku pasti akan merasa biasa-biasa saja. Aku tak terlalu peduli dengan apa yang orang lain katakan. Karena bagiku, tiap orang punya pandangannya masing-masing.

Tapi, ini kamu, kamu yang mulai risih dengan keberadaan dan tingkah-tingkah tololku…
Bagaimana mungkin  jika aku tak mempermasalahkannya?
Ini tentang kamu, TEMANKU, bukan mereka yang lain.

Mungkin hal ini tak perlu kukatakan, tapi asal kamu tau, aku bangga dan bersyukur punya seorang teman sepertimu.
Tulisan ini hanya kubuat agar kamu tau, bahwa kita TEMAN, kecuali kau tak merasa begitu.
Mulailah mencoba terbuka bagiku.
Aku tak melarangmu untuk membenciku, itu hakmu.
Tapi, tolong, jangan berpura-pura kau menyukaiku, sementara deret huruf disana dengan gamblang menyindirku.

Menurutmu, apa aku bukan lagi Melva yang kau harapkan?
Apa karena kita sesama Gemini, apa kita terlalu sama sehingga hal yang kecil pun bisa dengan hebat kita permasalahkan? Barangkali, terlalu cocok kadang justru berpotensi untuk berkonflik. Tapi, apa kita memang pernah benar-benar cocok? Khususnya buat kamu… :’)


Mungkin, mereka yang lain juga tetap berpikir aku tak seharusnya seperti ini. Tapi apa hendak dikata jika yang kurasa adalah demikian, teman?

Bagiku, dengan menyindirku berkali-kali lewat sosial media hanya menjadikan rasa tak nyaman ini kunjung berlanjut. Meski ini adalah hal-hal kecil bagiku. Tapi, jelas kamu tau, jika hal tersebut ditumpuk-tumpuk. Ya, perlahan tapi pasti, itu bisa saja membuat rasa tak nyaman diantara kita semakin berkepanjangan.

Tapi, ini bukan berarti kau mesti diam saja saat ada hal yang membuatmu tak suka. Justru sebaliknya, bicaralah padaku secara langsung. Sampai kapan kau bersembunyi dibalik sosial media itu?
Paling tidak, tidak melalui sosial media. Inilah alasan mengapa aku membeberkan apa yang kurasa sampai hari ini. J
Kamu bisa jujur dan mengatakannya langsung.

Terimakasih, untuk duasetengahtahun yang patut kusyukuri.
Terimakasih, telah menjadi satu dari pendengar terbaikku.

Jujur, aku bangga punya teman sepertimu. Dan benar, jika aku sangat tidak ingin ada konflik yang bisa benar-benar membuat kita jauh.

Maaf, jika aku belum jadi seorang teman yang baik buatmu.
Maaf, jika banyak hal dariku yang mengecewakanmu.
Terikamasih, kamu. :’)
Luv ya…

With love,

Melva.


Selasa, 10 Desember 2013

Move On

Heiyaaa,,, long time no see here...
Well, you all...
I just wanna post my poem in the Poetry class...
Ah, pliss,,,
No need to laught at me. >.<

Move On

The early sunset gazes at me,
Slow and slow, he leaves me,
Is there anybody who can see me?
That I only want to be me!

You were my sparkling dew,
You were the only that I knew,
Damn! I don’t know what I feel,
‘Til I realize it is only sorrow and ill.

You gave a bright live then the pain,
You give a sweet love then the vain,
Been exhausted, try to move,
Been tired, try to prove.

Hey, you! Wake up!
Hey you! Look up!
I… I… and I will!
Yeah, move on! Sure, I will!



With love,

Melva :)


Minggu, 18 Agustus 2013

Back to December

Back To December

By Taylor Swift


I'm so glad you made time to see me.
How's life? Tell me how's your family?
I haven't seen them in a while.
You've been good, busier than ever,
We small talk, work and the weather,
Your guard is up and I know why.
Because the last time you saw me
Is still burned in the back of your mind.
You gave me roses and I left them there to die.

So this is me swallowing my pride,
Standing in front of you saying, "I'm sorry for that night,"
And I go back to December all the time.
It turns out freedom ain't nothing but missing you.
Wishing I'd realized what I had when you were mine.
I'd go back to December, turn around and make it all right.
I go back to December all the time.

These days I haven't been sleeping,
Staying up, playing back myself leavin'.
When your birthday passed and I didn't call.
And I think about summer, all the beautiful times,
I watched you laughing from the passenger side.
Realized that I loved you in the fall.

And then the cold came, the dark days when fear crept into my mind
You gave me all your love and all I gave you was "Goodbye".

So this is me swallowing my pride
Standing in front of you saying, "I'm sorry for that night."
And I go back to December all the time.
It turns out freedom ain't nothing but missing you,
Wishing I'd realized what I had when you were mine.
I'd go back to December, turn around and change my own mind
I go back to December all the time.

I miss your tanned skin, your sweet smile,
So good to me, so right
And how you held me in your arms that September night –
The first time you ever saw me cry.

Maybe this is wishful thinking,
Probably mindless dreaming,
But if we loved again, I swear I'd love you right.

I'd go back in time and change it but I can't.
So if the chain is on your door I understand.

But this is me swallowing my pride
Standing in front of you saying, "I'm sorry for that night."
And I go back to December...
It turns out freedom ain't nothing but missing you,
Wishing I'd realized what I had when you were mine.
I'd go back to December, turn around and make it all right.
I'd go back to December, turn around and change my own mind

I go back to December all the time.
All the time.



Behind the Lyric
Back to December itu nyeritain tentang apa sih?

Well,,,
Back to December ini ceritanya tentang seorang perempuan yang lagi disukain sama cowo. Tapi pas waktu itu (December), si perempuan nolak cinta si cowok. Then, as the time goes by, alias seiring berjalannya sang waktu, si perempuan tadi mulai sayang sama itu cowo. But next, sayangnya. L si cowo udah nggak punya perasaan yang sama kaya’ dulu. Si perempuan tadi ngarep kalo waktu bisa diulang, balik ke masa di mana si cowo tadi suka sama dia n bisa bersatu sama tuh cowo. Dia sadar, kalo itu udah terlambat.  Dia cuma bisa berharap kalau si cowo bisa balik sayang sama dia.

You know how does it feel? Sakit, man! Sakit! Yah, begitulah saat yang tinggal cuma penyesalan. Beruntunglah Anda yang punya kesempatan kedua. Buat yang gapunya, maka nyanyikan saja lagu Tangga, “andai saja, aku masih punya kesempatan kedua.” Duh, #mulaingaur… *tepuk jidat*

Back to the song,,,

Oiya, tentang video klipnya sendiri, kesannya nggak langsung nyampein isi tuh lagu. Taoi tetep aja masbro n mbaksist, ini recommended banget buat didengerin. Si Taylor kalo lagi nyanyi… uuuh, hulala… Cetar deh. Emosinya itu lho!!! Pas bebangetan. Yang galau wajib denger nih lagu! #eh Nah, di video klip ini… yah seperti biasa si Tay masih jadi pemeran utamanya, guys. Settingnya dia di kamar, lagi galau gitu. Kesepian, nulis in lagu. Trus ada salju-saljunya lho. Ini ngegambarin penyesalan, dan kesedihan yang mendalam, kea musim dingin ya kali. (hehhew) Then, ada si cowo, dia jalan aja, nggak datang kembali buat si perempuan itu. Video ini ngegambarin mereka gabisa balik ke waktu yang si perempuan harapin. So sad, guys. :’(

Another info:
Katanya sih, ni lagu diciptain Tay sebagai bentuk permintaan maafnya untuk sang mantan pacar. Yuuups, si Taylor Lautner. Eniweeei, swiefties (nama fans ny Taylor Swift) berpendapat bahwa duo Taylor ini serasi.

Tay (Swift) minta maaf sama Tay (Lautner) karena T. Swift ngerasa pas pacaran, dia gabisa banyak ngeluangin waktunya buat Lautner. *pukpuk*

“So this is me swallowing my pride, standing in front of you saying I’m sorry for that night. I’d go back to December turn around and make it alright. I’d go back to December all the time”


Baiklah, sekian dari saya dan terimakasih. :)

Senin, 10 Juni 2013

My Short Story "Hidup dan Matiku di Tangan-Mu"

Oke, this is me (again). Absolutely…
Nah, for this time, aku mau share cerpen karyaku sendiri (cieilee)
Ini juga cerpen perdanaku yang kemarin aku buat sekitar 40 menit an di lomba yang diadain sama P3KM.
Yang ikut sih emang Cuma 8 orang…
Tapi tetep aja,,,
Gak nyangka sih, berhasil nyabet juara 1. (I didnt mean anything by saying this (surely). I just get surprised when I knew the result)
Hehehhe…
Oiyaaaa….
Buat tema n judulnya, ini udah disiapin panitia. Jadi kita langsung lomba di TKP alias di Tempat Kejadian Perkara n buat disitu juga.

Note::: I know this short story is far from perfect. But, hopefully, it can entertain even motivate we all. Hope so. :)))
I also receive some critics. :)


Nah ini dia!
Enjoy reading! :)

Hidup dan Matiku Untuk-Mu

Binar mata itu kembali menelusuri dinding rumah yang sudah mulai tampak kusam tak terurus. Selalu ada senyum yang terukir di wajahnya yang letih menanggung beban hidup yang dijalaninya. Matanya liar menatapi langit-langit rumah yang minta diperbaiki. Dalam caranya menatap sekeliling, ia tampak mengingat kenangan manis di rumah kecil yang dulunya begitu damai dan terkesan sempurna.
“Nisa, kenapa nggak ke gereja?” tanya sosok yang sudah 17 tahun mengurusiku tanpa lelah.
“Malas,” jawabku singkat.
Itu adalah jawaban yang sama setelah berminggu-minggu aku terkesan melupakan-Nya. Itu adalah jawaban yang sama setelah aku tiada lagi mengunjungi rumah-Nya yang kudus. Sesungguhnya, pada kali pertama dia bertanya akan hal itu, nafasku serasa tercekat. Itu memang bisa dibilang aneh. Janggal. Mereka diluar sana mengatakan bahwa aku, adalah sosok yang cinta Tuhan. Nisa, bukanlah seorang pembangkang. Terlebih untuk urusan agama. Yah, itulah kata mereka.
***
Ayah, adalah sosok yang kurindukan. Sudah lama tak kulihat wajahnya yang begitu terasa menenangkan. Jujur saja, aku merindukannya. Bagaimana tidak? Apa rasanya kau hidup dengan 1 kaki? Mama memang begitu baik. Tapi, tentu aku masih butuh ayah. Dia… ya dia…
Mama kembali menghampiriku, mencoba meraihku untuk sekedar membelai lembut kepalaku. Dia teramat baik. Namun entah mengapa, aku tetap saja ini selalu kurang. Pikirku, bahkan ini akan jadi dan terus jadi sebuah kekurangan. Yatim. Apa enaknya menjadi anak tanpa ayah? Tak ada, kan? Kecemburuan sosial selalu datang merayapimu saat yang lain bisa sekedar menyalami ayahnya sebelum pergi ke sekolah. Sama seperti aku iri pada Nia.
Nia, dia adalah anak dari wali kelasku yang juga mengajarku di sekolah. Ayah bekerja sebagai supir bagi keluarga mereka. Aku dan Nia sudah berteman sejak lama. Tapi, 2 bulan terakhir kerenggangan pun tercipta setelah ayah tak lagi ada. Apalagi, kerap kali kudapati ia bercengkrama asik dengan mama. Siapa yang tak sakit hatinya? Jelas saja, aku seketika rapuh dan tak berdaya. Untuk ini, kau bisa bilang aku lemah. Kau bisa bilang aku kekanak-kanakkan. Ya, terserah.

***
            Senja di sore itu masih sama seperti senja-senja sebelumnya. Aku masih bisa menatapi langit yang mulai berwarna jingga. Pertanda langit kan menjemput siang yang kemudian diganti dengan sang malam. Dari tempatku termangu, kudengar suara sirine yang taka sing lagi bagiku. Itu pasti Nia, pikirku.
            “Syalom,” suara seorang wanita terdengar dari luar.
            Ibuku datang dan segera menghampirinya.
            “Syalom bu, Della,” jawab Mama.
Segera setelah mendengar hal itu, aku tau itu adalah suara mama Nia, yang biasa aku panggil tante di luar jam sekolah. Kuintip dari pintu kamarku, ia datang sendiri dengan membawa bungkusan kecil. Tante Della memang sudah terbiasa berkunjung ke rumah, apalagi semenjak ayah tiada. Begitu juga dengan Nia. Mereka teramat peduli pada kami. Jujur saja, ada rasa syukur yang kupajatkan pada-Nya. Karena bagiku, mereka cukup menghibur mama.
“Mana Nisa, bu?” tanyanya.
“Ada di kamar, bu. Dia sudah berminggu-minggu tidak gereja. Entahlah. Mungkin dia masih trauma karena ayahnya sudah nggak ada,” tutur mama.
Mendengar hal itu, air mataku spontan membasahi kedua belah pipiku yang mulai tirus  dua bulan belakangan ini. Kubenamkan wajahku pada kasur kesayanganku. Berharap bisa berjumpa dengannya. Ya, ayah. Akupun terlelap.



***
“Kamu kenapa, Nisa” tanya tante Della setelah selesai mengajar kelasku.
“Nggak apa-apa kok tante,” jawabku singkat seraya melangkahkan kaki keluar kelas.
Sekilas, kulihat dia menggelenggkan kepalanya 3 kali. Mungkin benar orang mulai beranggapan sama tentangku bahwa aku sudah berubah. Bahwa aku bukanlah Nisa yang dulu. Sekali lagi, terserah. Toh, hak mereka mengadili dan menilaiku seperti apa. Hidupku ya hidupku, pikirku.
            Dengan langkah gontai aku berjalan pelan menuju rumahku. Kususuri jalan setapak yang memotong lurus kea rah rumahku. Hari-hariku masih sama. Sama suramnya. Begitu hampa. Kau mau bilang aku berlebihan? Lagi-lagi ya terserah, hatiku berbicara.
            “Nisa, kok kamu nggak bareng aku pulangnya? Sorry, tadi nggak nungguin kamu keluar dari kelass. Aku soalnya haus banget. Jadi ke kantin dulu. Trus aku tadi nungguin kamu di depan gerbang sama supir baru mama,” kata Nia panjang lebar.
            “Oh, nggak apa-apa. Aku lagi malas pulang naik mobil kamu,” cetusku.
Tak sadar perkataanku barusan membuat Nia berdiam diri di tempatnya. Aku makin berlangkah lebih cepat meningggalkannya. Lalu berlari seolah-olah rumahku hanyalah 100 meter lagi jaraknya.

***
            “Nanti kita ikut KKR yuk, Nisa” katanya diseberang sana. Sudah 3 menit aku meladeninya lewat telepon
            “Aku mau ngerjain PR aja, Nia. Maaf,” kataku.  Selesai berkata demikian, kuputus telefon begitu saja. Aku sedang tidak ingin diganggu. Ya, begitulah caraku menikmati hidup sekarang.
Tak lama kemudian, kudengar suara lembut mama memanggilku dari dapur.
“Nisa, yuk makan dulu. Kamu pergi KKR kan?” tanyanya setengah berteriak dari dapur.
Aku hanya diam saja. Bahkan sampai mama datang ke kamar. Aku masih diam saja.
“Nisa, kamu kenapa nak? Kamu kenapa gini terus. Mama jadi sedih, Nisa,” katanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca”
Aku hanya diam saja, tak ingin menjawab apa-apa. Benar.
“Kamu masih sedih gara-gara nggak ada ayah?” tanyanya sambil memegangi pundakku.
“Dengar Nis, diluar sana bukan cuma kamu yang ngalamin hal ini. Kan masih ada mama. Mama pasti jagain kamu terus. Mama janji, nak,” lanjutnya.
Nafasku serasa tertahan dikerongkongan mulutku. Mama… gumamku dalam hati.
“Sudah beberapa minggu terakhir kamu suka bolos untuk gereja. Mama juga tau, bahkan setelah 1 bulan papa meninggal. Waktu kamu bilang kamu mau gereja, kamu bohong kan? Kamu kemana, Nisa? Mama sengaja nggak nanyain ini sama kamu karena mama pikir kamu bakalan bilang hal yang jujur sama mama,” katanya lagi sambil berlinangan air mata.
“Aku ke kuburan ayah, Ma. Aku rindu kita bisa gereja bareng-bareng lagi. Aku rindu jalan-jalan sama-sama lagi. Aku iri sama mereka yang masih punya orang tua yang lengkap, Ma. Aku belum siap kalau ayah dipanggil Tuhan. Nisa nggak siap, Ma”
            Oh, Tuhan. Sungguh, rasanya aku tak sanggup melihat mama menangis karena kenakalanku. Segera saja kutinggalkan dia sendiri di kamarku. Rasanya ingin sekali kupeluk dia, rasanya aku ingin minta maaf padanya. Tapi, aku tak tau apa yang harus kulakukan. Segera saja kularikan tubuhku ke tempat pembaringan ayah yang terakhir. Aku sudah mulai nggak kuat sendiri tanpa sosoknya.

***
Kupandangi pusaranya yang masih tampak baru. Kuperhatikan tiap detail nisannya. Tak tahan lagi, segera kupeluk nisannya itu. Aku menangis sejadi-jadinya. Lalu berdoa setelahnya.
            Sekembalinya aku dari pemakaman, kulihat ibu sudah di kamar. Aku merasa ada yang aneh dengannya. Terlebih fisiknya. Ia seperti tampak lelah yang teramat sangat. Tapi, sudahlah. Tak ingin aku menambah beban pikiran lagi. Aku pun pergi melayangkan pandangan ke kamar dan masuk ke dalamnya.
***
“Kamu yang ngaduin aku sama mama? Kamu yang bilang aku nggak gereja waktu itu? Oh, gitu” kataku dengan seringai yang cukup lebar.
“Aku nggak negrti, Nisa” kata Nia dengan nada yang terkejut.
“Ah, sudahlah. Dasar muka dua. Percuma, bagus di luar doing, aslinya sih. Busuk. Sekali lagi ya, busuk!” kataku dengan penuh amarah.
Kutinggalkan dia di kelas sendirian dengan wajah penuh tanda tanya.

***
Tiba di rumah, kudapati pintu rumahku terbuka lebar. Aku bingung. Tiba-tiba handphone ku pun berdering nyaring tanda panggilan masuk. Ternyata dari tante Della.
“Hallo,” ujarku.
“Nisa, tante di rumah sakit sekarang. Mama kamu sudah di rumah sakit. Beliau di diagnosis terkena kanker, nak. Nia nanti ke rumah buat jemput kamu, tunggu ya!”
Mendengar hal itu, lututku goyah.
“Mama,” kataku pelan.
.
***
“Mama, mama sudah sadar?” kataku sambil memegangi jemarinya yang lemah.
Mama hanya tersenyum memandangiku.
“Mama kok nggak cerita kena kanker? Stadium 2 lagi” ujarku sambil mencubiti lemah lengannya.
Dia kembali tersenyum.
“Maafin Nisa, Ma. Ini pasti gara-gara Nisa. Mama sering masakin masakan enak buat Nisa supaya Nisa mau makan. Padahal mama sendiri bela-belain nggak makan. Mama juga suka nungguin Nisa sampai pulang buat ngechek apa Nisa makan masakan mama apa enggak” kataku sambil terbata-bata.
“Nisa aja yang sakit, Ma. Nisa nggak kuat liat mama kegini,” lanjutku dengan berlinangan air mata.
“Hidup dan mati itu ditangan Tuhan, nak. Sebisanya mama pasti bakalan coba buat bertahan. Mama kan udah janji mau jagain Nisa,” katanya lemah.
Kupeluk tubuhnya sekuat mungkin. Aku menyayanginya. Sungguh.
Mulai sekarang, tak kan lagi kukecewakan Dia. Tak kan lagi kukecewakan mama. Tak kan lagi kukecewakan ayah di surga sana. Ya, itu janjiku.

***
Tiga bulan berselang. Semua terasa menyenangkan. Mama sudah sehat seperti sedia kala. Nisa yang dulu kukenal kembali seperti Nisa yang sebagaimana mestinya.
Mujizat itu nyata. Benar-benar nyata.
“Terimakasih Tuhan. Aku mencintai mereka. Ayah, mama, orang-orang terkasih lainnya. Terutama Engkau.  Aku tau ya Bapa, hidup dan matiku, hidup dan mati mereka hanya ditangan-Mu. Kau sungguh luar biasa. Amin.”
Selesai berdoa di bangku gereja paling depan, kugamit lengan mama dengan manja. Aku Kuliat wajah mama begitu damai menenagkan. Ia tampak begitu bahagia. Begitu juga aku. Aku bahagia.

Love

Melva

Rabu, 03 April 2013

Kamu...


Kubuka mataku, dan menatap matahari yang sama terbit untuk hari yang awalnya terasa biasa, dan kuyakin tetap biasa sampai ada yang merubahnya Ya, siapa lagi kalau bukan kamu yang disana? Ya kan? :)

Aku sudah terbiasa, terbangun tanpa kamu disisiku. Ya, hanya handphone yang boleh kujamah untuk mengabarimu di kota sebelah sana. Aku juga masih terbiasa, kembali sadar dari mimpiku dengan tiada senyummu yang memelukku hangat tiap kubuka mata.

          Bertenung aku sendiri, menyesap rindu yang mulai menjangkiti. Selalu ada tangis yang pecah saat aku sudah tidak kuasa menahan rasa yang selalu ditunda dalam pelampiasannya. Aku sakit menungguimu yang entah kemana. Menunggui kamu yang tak lagi sama saat awal kita bercerita dan mengenal cinta satu sama lainnya. Kamu ada, tapi tak bisa lagi kau kurasa masih dengan getar yang sama padaku. Kupikir ada yang berubah antara kita, atau hanya pikiranku saja karena aku mulaidepresi menunggui kamu yang mulai samar keberadaannya dalam hariku.

Lalu bagaimana yang sebenarnya?

Aku masih setia menuliskan namamu dalam hatiku, dan kubiarkan terpatri kuat disana dari hari ke harinya. Aku juga masih sering menjengukmu dalam doa. Memelukkmu dengan mesra lewat tangis rindu yang berhasil menyulut emosiku dengan telak nyatanya, persis saat aku mengharapkan pelukmu menghampiri dukaku yang membalu pilu. Persis saat aku mengharapkan senyummu yang menghampiri guratan senyum dan tawa bahagiaku.

          Ah, aku tak tau apa yang salah. Kurasa kamu tak lagi cinta? Benarkah? Sakit, takut… Lebih dari itu. Aku sekarat. Berdarah lewat nyawa yang sudah tak lagi utuh dalam penantian yang tak kunjung berlabuh. Tak tau kah kamu aku sudah jenuh menunggumu? Namun hatiku masih untukmu, untuk dirimu. Sebab itulah aku bergerilya menyeruak tekanan waktu yang makin lama makin menyiksaku. Bayangkan saja, kasih! Kukira aku sudah cukup kuat untuk menunggumu disini berlama-lama, kukira aku sudah cukup baik dengan setia hanya pada hatimu saja, dan tak berpaling pada lainnya. Aku, apakah menurutmu layak untuk diperjuangkan lalu dimenangkan pada akhirnya? Entahlah.

          Ada banyak hal yang siap aku ceritakan sampai mulut ini kehabisan suara. Tapi aku tau, kamu tak lagi punya waktu untukmu. Ad dinding pembatas yang dipalangi jarak untuk kita berdua.

Gamit lenganmu,

Genggaman jarimu,

Senyum manismu,

Seruak tawamu,

Tingkah konyolmu,

Bahkan amukkan mu yang tak jelas apa sebabnya didepanku,
Ah, aku merindukan semuanya,,,

Begitu indah saat kita bersama. Ya, tak ada yang terasa lebih baik saat aku dan kau berada dalam dimensi ruang dan waktu yang sama. Bercerita, bersenda gurau dan tertawa bersama. Geram rasanya, merindukan kamu yang dulu, dan bisa bersamaku dalam nyatanya hidup kita.

Aku masih merasakan sesak yang sama, merindukanmu. Masih merasakan kepayahan yang sama, merindukanmu. Masih dengan harapan yang sama. Bertemu denganmu. Secepatnya…


                                                                                                          Sincerely,
                  
                                                                                                         Melva