Melva Sari Simangunsong

Dear people, this blog is not truly and merely about me n my life only. I am a random-post-writer. So I post everything in my mind.The thing that I wrote is not all about me, n not all about you. Thanks. :)

Senin, 21 Juli 2014

JATUH CINTA DALAM DIAM

Well, ini adalah tulisan perdana aku dimana aku menempatkan diri dari POV (point of view) yang berbeda. Apa maksudnya? Baiklah, tulisan yang bakal kamu baca dibawah adalah tulisan dimana POVnya adalah seorang laki-laki (yeps, laki-laki (kan biasanya aku nyeritain kisah dari sudut pandang perempuan, kalo ini dari POV laki-laki)) yang jatuh cinta diam-diam dalam diam pada seorang gadis 1 kampusnya.

Terimakasih untuk mbak Eka yang dengan besar hati udah minjemin novel-novel kecenya. Berkat “Still” nya Esti Kinasih, “Sisi Merah Muda” nya Mira W, “Sunshine Becomes You” nya Illana Tan, dan “Fate” nya Orizuka, akhirnya terbitlah rasa semangat yang berkobar-kobar untuk ngisi ini blog lagi. *wink*

Duh, pliss, aku bisa melihat tatapan kalian, fellas. I need ur critic and some advise instead pandangan sinis yang mungkin bisa membunuhku kalau saja pandangan dari mata mempunyai potensi untuk membuatku tak bernyawa. Hahahha. Aku kebanyakan bercerita yaa?Lets check it out!

“Hey, gadis “sapaku pada pigura kecil di atas meja belajarku yang warnanya kecoklatan. Kupandangi wajah cerianya sejenak. Lalu aku beralih pada sosok disebelahnya. Kurasa mereka sangat amat cocok untuk bersanding berdua—lebih dari sekedar teman. Seketika ada perasaan hangat yang menjalar ke dalam dadaku saat memikirkan sosok manis berambut hitam panjang yang ada dalam frame putih itu.

Aku sudah berteman lama dengannya. Sejak SD kami selalu bersama-sama. Orang tua kami pun sudah sangat kenal satu sama lain. Maklum, kami bertetangga sejak kecil. Tapi, yah, seperti yang kukatakan. Aku hanya sekedar berteman dengan gadis yang suka memakai bandana itu. Sebatas teman.

Ada satu hal yang dari dulu kutanyakan pada diriku, aku tak tau kenapa aneh rasanya jika tak bertemu dengannya barang 1 hari saja. Aku tak tau, janggal rasanya jika aku tak melihat senyumnya dalam 1 hari saja. Pada awal sekolah menengah, kurasa dia hanya cinta monyetku saja. Namun saat masa putih abu-abu tiba, ternyata perasaan itu masih ada, bahkan bertumbuh lebih subur daripada yang bisa kubayangkan. Apa aku benar-benar jatuh cinta padanya?

Setiba di jenjang kuliah, aku masih akrab dengannya,,,
Dan aku sadar kalau aku benar-benar jatuh cinta padanya.
Kami berada di jurusan yang berbeda. Dia berada di Fakultas Pendidikan, sementara aku berada di Fakultas Kedokteran. Meski demikian, kami masih sering menghabiskan waktu bersama-sama. Bahkan kadang kami menyempatkan waktu makan siang untuk makan bersama. Di akhir pekan pun kami kerap jalan berdua. Hingga teman-temanku dan teman-temannya menyangka kami berpacaran. Bahkan sebagian dari mereka bilang bahwa mereka iri pada setiap perhatian dan kemesraan yang kami tunjukkan. Romantis bukan? (kesan mesra itu hanya ada pada aku dan teman-teman kami, karena dia pernah bilang bahwa itu bukanlah kemesraan yang seperti orang lain pikirkan. Dan aku? Hanya tersenyum lemah saat menanggapinya.) Well, lagi dan lagi aku hanya bisa pasrah dengan kenyataan bahwa kami hanya berteman. Sejujurnya aku tak suka dengan kenyataan memilukan ini. Perasaan tidak enak segera melesak saat aku memikirkan bahwa aku tidak akan pernah bersamanya. Bahwa aku tak akan pernah memilikinya.

Baik, akan kuceritakan sedikit bagaimana gadis ini benar-benar spesial di mataku. Mungkin benar kalau aku mencintainya karena kami sangat sering bersama. Bagaimana tidak? Kami sudah ber-t-e-m-a-n akrab dari kecil. Bahkan waktu kecil aku ingat terkadang dia tidur dikamarku. Pun demikian dengan aku. Kami dulu sering bermain rumah-rumahan bersama. Aku jadi sang suami dan dia jadi sang istri. Aku paling tidak bisa menolak keinginannya. Aku selalu mematuhinya. Pernah suatu kali saat dia terjatuh dan menangis keras karena lututnya berdarah, aku panik setengah mati dan segera memanggil ayah dan ibunya serta kedua orang tuaku sambil ikut menangis juga. Semenjak itu aku bertekad untuk terus menjaganya. Waktu itu aku memang masih kecil. Namun seiring berjalannya waktu kurasakan bahwa perasaan itu benar. Aku tidak pernah ingin melihatnya bersedih.

Sampai sekarang,,,
Aku suka caranya tersenyum. Air mukanya nyaris selalu tampak ceria. Alis tebal itu, aku suka. Bibirnya juga merah merekah, tanpa pemoles bibir bahkan. Aku selalu suka caranya menyelipkan rambut dibelakang telinganya saat ia memilih-milih buku di perpustakaan. Aku selalu merindukan sifatnya yang cerewet itu. Aku mungkin sudah gila, bahkan saat dia mengernyitkan dahi dengan pertanyaan skeptisnya terhadap dunia kedokteran, aku menyukainya. Aku suka melihat wajahnya yang penasaran, seperti anak kecil yang ingin tau dengan hadiah Natalnya.

Dia anak yang cerdas. Bisa kulihat terkadang di sore hari dia mengerjakan buku-buku TOEFL  atau membaca majalah-majalah politik di lantai 2 di depan rumahnya. IPK nya pun nyaris sempurna. Kami memang dari kecil sudah menjadi rival untuk urusan pelajaran. Tapi tetap saja, aku tidak pernah menganggapnya benar-benar lawan. Aku malah menganggapnya bahwa dia adalah penyemangatku. Terserah kau mau mengataiku apa, kurasa dia adalah setengah dari duniaku.

Dan kau tau? Dia bahkan selalu bisa membuat orang-orang disekitarnya ikut merasa bahagia dengan senyumnya. Apa dia keturunan dewa? Bahkan ketika aku sedang merasa terbebani dengan tugas, laporan dan ujian, dia masih bisa membuatku tertawa. Kurasa dia penyihir. Dia memang gadis ajaib.

Tapi yang membuatku belum berani atau tidak akan pernah berani adalah kemungkinan semua tak akan lagi sama. Alasan utamanya adalah… “karena aku takut” dengusku sambil melorotkan punggungku dari kursi belajarku. Ini tidak mengenakkan. Aku tidak pernah takut jika harus membedah mayat atau bahkan berada dalam kamar mayat semalaman persis seperti OSPEK yang aku alami 3 tahun lalu. Aku hanya takut pada perasaanku sendiri, pada dia. Konyol? Mungkin.

Kalau aku mengatakannya, reaksi apa yang akan diberikannya? Apakah dia akan menerima pengakuanku? Atau menolaknya sama seperti dengan ungkapan-ungkapan hati semua laki-laki yang sudah pernah menyatakannya. Aku tidak tau alasan apa yang sebenarnya membuat dia sampai sekarang masih dalam 11 huruf; 1 kata itu—kesendirian. Aku pernah bertanya padanya, dia bilang “belum ada yang cocok”, “tugasku sedang menggunung, aku tidak punya waktu untuk mengurusi hal itu sekarang.” Ingin sekali rasanya aku bertanya “apa kau sedang menungguku?” Tapi aku selalu saja, masih diam dan bersembunyi dalam ketakutanku.

Apa kau akan percaya padaku?
Apakah kau masih akan menatapku dengan cara yang sama?
Tersenyum padaku seperti biasanya?
Atau… apakah justru kau akan menjauh dariku? Meninggalkanku?
Asal saja kau tau, aku hanya ingin berada disisinya, dekat dengannya. Jika menyatakan perasaan padanya bisa membuat kami jauh. Maka aku akan memilih untuk tetap menyimpannya.

Sampai kapan? Entahlah!
Aku bahkan bisa sibuk memikirkannya, bahkan dalam keheningan karena diktat yang sedang sama-sama kami baca. Saat kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing aku sering memikirkannya, meski dia ada disebelahku.

Aku tak mungkin menyimpan perasaan ini selamanya. Tapi aku tau, aku belum siap. “Semoga kau masih terus sendiri, jika yang memang kau tunggu itu aku, cinta” bisikku pelan pada sosok manis dalam pigura kecil itu.

Aku masih jatuh cinta diam-diam dalam diam. Tak pernah mengungkapkan, setidaknya sampai sekarang. Asal kau masih ada didekatku, aku bahagia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar