Well, ini adalah tulisan perdana
aku dimana aku menempatkan diri dari POV (point of view) yang berbeda. Apa
maksudnya? Baiklah, tulisan yang bakal kamu baca dibawah adalah tulisan dimana
POVnya adalah seorang laki-laki (yeps, laki-laki (kan biasanya aku nyeritain kisah dari sudut pandang perempuan, kalo ini dari POV laki-laki)) yang jatuh cinta diam-diam dalam diam pada
seorang gadis 1 kampusnya.
Terimakasih untuk mbak Eka yang
dengan besar hati udah minjemin novel-novel kecenya. Berkat “Still” nya Esti
Kinasih, “Sisi Merah Muda” nya Mira W, “Sunshine Becomes You” nya Illana Tan,
dan “Fate” nya Orizuka, akhirnya terbitlah rasa semangat yang berkobar-kobar
untuk ngisi ini blog lagi. *wink*
Duh, pliss, aku bisa melihat
tatapan kalian, fellas. I need ur critic and some advise instead pandangan
sinis yang mungkin bisa membunuhku kalau saja pandangan dari mata mempunyai
potensi untuk membuatku tak bernyawa. Hahahha. Aku kebanyakan bercerita yaa?Lets
check it out!
“Hey, gadis
“sapaku pada pigura kecil di atas meja belajarku yang warnanya kecoklatan. Kupandangi
wajah cerianya sejenak. Lalu aku beralih pada sosok disebelahnya. Kurasa mereka
sangat amat cocok untuk bersanding berdua—lebih dari sekedar teman. Seketika
ada perasaan hangat yang menjalar ke dalam dadaku saat memikirkan sosok manis
berambut hitam panjang yang ada dalam frame putih itu.
Aku sudah
berteman lama dengannya. Sejak SD kami selalu bersama-sama. Orang tua kami pun
sudah sangat kenal satu sama lain. Maklum, kami bertetangga sejak kecil. Tapi,
yah, seperti yang kukatakan. Aku hanya sekedar berteman dengan gadis yang suka
memakai bandana itu. Sebatas teman.
Ada satu
hal yang dari dulu kutanyakan pada diriku, aku tak tau kenapa aneh rasanya jika
tak bertemu dengannya barang 1 hari saja. Aku tak tau, janggal rasanya jika aku
tak melihat senyumnya dalam 1 hari saja. Pada awal sekolah menengah, kurasa dia
hanya cinta monyetku saja. Namun saat masa putih abu-abu tiba, ternyata
perasaan itu masih ada, bahkan bertumbuh lebih subur daripada yang bisa
kubayangkan. Apa aku benar-benar jatuh cinta padanya?
Setiba di
jenjang kuliah, aku masih akrab dengannya,,,
Dan aku
sadar kalau aku benar-benar jatuh cinta padanya.
Kami berada
di jurusan yang berbeda. Dia berada di Fakultas Pendidikan, sementara aku
berada di Fakultas Kedokteran. Meski demikian, kami masih sering menghabiskan
waktu bersama-sama. Bahkan kadang kami menyempatkan waktu makan siang untuk
makan bersama. Di akhir pekan pun kami kerap jalan berdua. Hingga teman-temanku
dan teman-temannya menyangka kami berpacaran. Bahkan sebagian dari mereka
bilang bahwa mereka iri pada setiap perhatian dan kemesraan yang kami
tunjukkan. Romantis bukan? (kesan mesra itu hanya ada pada aku dan teman-teman
kami, karena dia pernah bilang bahwa itu bukanlah kemesraan yang seperti orang
lain pikirkan. Dan aku? Hanya tersenyum lemah saat menanggapinya.) Well, lagi
dan lagi aku hanya bisa pasrah dengan kenyataan bahwa kami hanya berteman. Sejujurnya
aku tak suka dengan kenyataan memilukan ini. Perasaan tidak enak segera melesak
saat aku memikirkan bahwa aku tidak akan pernah bersamanya. Bahwa aku tak akan
pernah memilikinya.
Baik, akan
kuceritakan sedikit bagaimana gadis ini benar-benar spesial di mataku. Mungkin
benar kalau aku mencintainya karena kami sangat sering bersama. Bagaimana tidak? Kami
sudah ber-t-e-m-a-n akrab dari kecil. Bahkan waktu kecil aku ingat terkadang
dia tidur dikamarku. Pun demikian dengan aku. Kami dulu sering bermain
rumah-rumahan bersama. Aku jadi sang suami dan dia jadi sang istri. Aku paling
tidak bisa menolak keinginannya. Aku selalu mematuhinya. Pernah suatu kali saat
dia terjatuh dan menangis keras karena lututnya berdarah, aku panik setengah
mati dan segera memanggil ayah dan ibunya serta kedua orang tuaku sambil ikut
menangis juga. Semenjak itu aku bertekad untuk terus menjaganya. Waktu itu aku
memang masih kecil. Namun seiring berjalannya waktu kurasakan bahwa perasaan
itu benar. Aku tidak pernah ingin melihatnya bersedih.
Sampai
sekarang,,,
Aku suka
caranya tersenyum. Air mukanya nyaris selalu tampak ceria. Alis tebal itu, aku
suka. Bibirnya juga merah merekah, tanpa pemoles bibir bahkan. Aku selalu suka
caranya menyelipkan rambut dibelakang telinganya saat ia memilih-milih buku di
perpustakaan. Aku selalu merindukan sifatnya yang cerewet itu. Aku mungkin
sudah gila, bahkan saat dia mengernyitkan dahi dengan pertanyaan skeptisnya
terhadap dunia kedokteran, aku menyukainya. Aku suka melihat wajahnya yang
penasaran, seperti anak kecil yang ingin tau dengan hadiah Natalnya.
Dia anak
yang cerdas. Bisa kulihat terkadang di sore hari dia mengerjakan buku-buku
TOEFL atau membaca majalah-majalah
politik di lantai 2 di depan rumahnya. IPK nya pun nyaris sempurna. Kami memang
dari kecil sudah menjadi rival untuk urusan pelajaran. Tapi tetap saja, aku
tidak pernah menganggapnya benar-benar lawan. Aku malah menganggapnya bahwa dia
adalah penyemangatku. Terserah kau mau mengataiku apa, kurasa dia adalah
setengah dari duniaku.
Dan kau
tau? Dia bahkan selalu bisa membuat orang-orang disekitarnya ikut merasa
bahagia dengan senyumnya. Apa dia keturunan dewa? Bahkan ketika aku sedang
merasa terbebani dengan tugas, laporan dan ujian, dia masih bisa membuatku
tertawa. Kurasa dia penyihir. Dia memang gadis ajaib.
Tapi yang
membuatku belum berani atau tidak akan pernah berani adalah kemungkinan semua
tak akan lagi sama. Alasan utamanya adalah… “karena aku takut” dengusku sambil
melorotkan punggungku dari kursi belajarku. Ini tidak mengenakkan. Aku tidak
pernah takut jika harus membedah mayat atau bahkan berada dalam kamar mayat
semalaman persis seperti OSPEK yang aku alami 3 tahun lalu. Aku hanya takut
pada perasaanku sendiri, pada dia. Konyol? Mungkin.
Kalau aku
mengatakannya, reaksi apa yang akan diberikannya? Apakah dia akan menerima
pengakuanku? Atau menolaknya sama seperti dengan ungkapan-ungkapan hati semua
laki-laki yang sudah pernah menyatakannya. Aku tidak tau alasan apa yang
sebenarnya membuat dia sampai sekarang masih dalam 11 huruf; 1 kata itu—kesendirian. Aku
pernah bertanya padanya, dia bilang “belum ada yang cocok”, “tugasku sedang
menggunung, aku tidak punya waktu untuk mengurusi hal itu sekarang.” Ingin
sekali rasanya aku bertanya “apa kau sedang menungguku?” Tapi aku selalu saja,
masih diam dan bersembunyi dalam ketakutanku.
Apa kau
akan percaya padaku?
Apakah kau
masih akan menatapku dengan cara yang sama?
Tersenyum
padaku seperti biasanya?
Atau…
apakah justru kau akan menjauh dariku? Meninggalkanku?
Asal saja
kau tau, aku hanya ingin berada disisinya, dekat dengannya. Jika menyatakan
perasaan padanya bisa membuat kami jauh. Maka aku akan memilih untuk tetap
menyimpannya.
Sampai
kapan? Entahlah!
Aku bahkan
bisa sibuk memikirkannya, bahkan dalam keheningan karena diktat yang sedang
sama-sama kami baca. Saat kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing aku
sering memikirkannya, meski dia ada disebelahku.
Aku tak
mungkin menyimpan perasaan ini selamanya. Tapi aku tau, aku belum siap. “Semoga
kau masih terus sendiri, jika yang memang kau tunggu itu aku, cinta” bisikku
pelan pada sosok manis dalam pigura kecil itu.
Aku masih
jatuh cinta diam-diam dalam diam. Tak pernah mengungkapkan, setidaknya sampai
sekarang. Asal kau masih ada didekatku, aku bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar