Melva Sari Simangunsong

Dear people, this blog is not truly and merely about me n my life only. I am a random-post-writer. So I post everything in my mind.The thing that I wrote is not all about me, n not all about you. Thanks. :)

Senin, 10 Juni 2013

My Short Story "Hidup dan Matiku di Tangan-Mu"

Oke, this is me (again). Absolutely…
Nah, for this time, aku mau share cerpen karyaku sendiri (cieilee)
Ini juga cerpen perdanaku yang kemarin aku buat sekitar 40 menit an di lomba yang diadain sama P3KM.
Yang ikut sih emang Cuma 8 orang…
Tapi tetep aja,,,
Gak nyangka sih, berhasil nyabet juara 1. (I didnt mean anything by saying this (surely). I just get surprised when I knew the result)
Hehehhe…
Oiyaaaa….
Buat tema n judulnya, ini udah disiapin panitia. Jadi kita langsung lomba di TKP alias di Tempat Kejadian Perkara n buat disitu juga.

Note::: I know this short story is far from perfect. But, hopefully, it can entertain even motivate we all. Hope so. :)))
I also receive some critics. :)


Nah ini dia!
Enjoy reading! :)

Hidup dan Matiku Untuk-Mu

Binar mata itu kembali menelusuri dinding rumah yang sudah mulai tampak kusam tak terurus. Selalu ada senyum yang terukir di wajahnya yang letih menanggung beban hidup yang dijalaninya. Matanya liar menatapi langit-langit rumah yang minta diperbaiki. Dalam caranya menatap sekeliling, ia tampak mengingat kenangan manis di rumah kecil yang dulunya begitu damai dan terkesan sempurna.
“Nisa, kenapa nggak ke gereja?” tanya sosok yang sudah 17 tahun mengurusiku tanpa lelah.
“Malas,” jawabku singkat.
Itu adalah jawaban yang sama setelah berminggu-minggu aku terkesan melupakan-Nya. Itu adalah jawaban yang sama setelah aku tiada lagi mengunjungi rumah-Nya yang kudus. Sesungguhnya, pada kali pertama dia bertanya akan hal itu, nafasku serasa tercekat. Itu memang bisa dibilang aneh. Janggal. Mereka diluar sana mengatakan bahwa aku, adalah sosok yang cinta Tuhan. Nisa, bukanlah seorang pembangkang. Terlebih untuk urusan agama. Yah, itulah kata mereka.
***
Ayah, adalah sosok yang kurindukan. Sudah lama tak kulihat wajahnya yang begitu terasa menenangkan. Jujur saja, aku merindukannya. Bagaimana tidak? Apa rasanya kau hidup dengan 1 kaki? Mama memang begitu baik. Tapi, tentu aku masih butuh ayah. Dia… ya dia…
Mama kembali menghampiriku, mencoba meraihku untuk sekedar membelai lembut kepalaku. Dia teramat baik. Namun entah mengapa, aku tetap saja ini selalu kurang. Pikirku, bahkan ini akan jadi dan terus jadi sebuah kekurangan. Yatim. Apa enaknya menjadi anak tanpa ayah? Tak ada, kan? Kecemburuan sosial selalu datang merayapimu saat yang lain bisa sekedar menyalami ayahnya sebelum pergi ke sekolah. Sama seperti aku iri pada Nia.
Nia, dia adalah anak dari wali kelasku yang juga mengajarku di sekolah. Ayah bekerja sebagai supir bagi keluarga mereka. Aku dan Nia sudah berteman sejak lama. Tapi, 2 bulan terakhir kerenggangan pun tercipta setelah ayah tak lagi ada. Apalagi, kerap kali kudapati ia bercengkrama asik dengan mama. Siapa yang tak sakit hatinya? Jelas saja, aku seketika rapuh dan tak berdaya. Untuk ini, kau bisa bilang aku lemah. Kau bisa bilang aku kekanak-kanakkan. Ya, terserah.

***
            Senja di sore itu masih sama seperti senja-senja sebelumnya. Aku masih bisa menatapi langit yang mulai berwarna jingga. Pertanda langit kan menjemput siang yang kemudian diganti dengan sang malam. Dari tempatku termangu, kudengar suara sirine yang taka sing lagi bagiku. Itu pasti Nia, pikirku.
            “Syalom,” suara seorang wanita terdengar dari luar.
            Ibuku datang dan segera menghampirinya.
            “Syalom bu, Della,” jawab Mama.
Segera setelah mendengar hal itu, aku tau itu adalah suara mama Nia, yang biasa aku panggil tante di luar jam sekolah. Kuintip dari pintu kamarku, ia datang sendiri dengan membawa bungkusan kecil. Tante Della memang sudah terbiasa berkunjung ke rumah, apalagi semenjak ayah tiada. Begitu juga dengan Nia. Mereka teramat peduli pada kami. Jujur saja, ada rasa syukur yang kupajatkan pada-Nya. Karena bagiku, mereka cukup menghibur mama.
“Mana Nisa, bu?” tanyanya.
“Ada di kamar, bu. Dia sudah berminggu-minggu tidak gereja. Entahlah. Mungkin dia masih trauma karena ayahnya sudah nggak ada,” tutur mama.
Mendengar hal itu, air mataku spontan membasahi kedua belah pipiku yang mulai tirus  dua bulan belakangan ini. Kubenamkan wajahku pada kasur kesayanganku. Berharap bisa berjumpa dengannya. Ya, ayah. Akupun terlelap.



***
“Kamu kenapa, Nisa” tanya tante Della setelah selesai mengajar kelasku.
“Nggak apa-apa kok tante,” jawabku singkat seraya melangkahkan kaki keluar kelas.
Sekilas, kulihat dia menggelenggkan kepalanya 3 kali. Mungkin benar orang mulai beranggapan sama tentangku bahwa aku sudah berubah. Bahwa aku bukanlah Nisa yang dulu. Sekali lagi, terserah. Toh, hak mereka mengadili dan menilaiku seperti apa. Hidupku ya hidupku, pikirku.
            Dengan langkah gontai aku berjalan pelan menuju rumahku. Kususuri jalan setapak yang memotong lurus kea rah rumahku. Hari-hariku masih sama. Sama suramnya. Begitu hampa. Kau mau bilang aku berlebihan? Lagi-lagi ya terserah, hatiku berbicara.
            “Nisa, kok kamu nggak bareng aku pulangnya? Sorry, tadi nggak nungguin kamu keluar dari kelass. Aku soalnya haus banget. Jadi ke kantin dulu. Trus aku tadi nungguin kamu di depan gerbang sama supir baru mama,” kata Nia panjang lebar.
            “Oh, nggak apa-apa. Aku lagi malas pulang naik mobil kamu,” cetusku.
Tak sadar perkataanku barusan membuat Nia berdiam diri di tempatnya. Aku makin berlangkah lebih cepat meningggalkannya. Lalu berlari seolah-olah rumahku hanyalah 100 meter lagi jaraknya.

***
            “Nanti kita ikut KKR yuk, Nisa” katanya diseberang sana. Sudah 3 menit aku meladeninya lewat telepon
            “Aku mau ngerjain PR aja, Nia. Maaf,” kataku.  Selesai berkata demikian, kuputus telefon begitu saja. Aku sedang tidak ingin diganggu. Ya, begitulah caraku menikmati hidup sekarang.
Tak lama kemudian, kudengar suara lembut mama memanggilku dari dapur.
“Nisa, yuk makan dulu. Kamu pergi KKR kan?” tanyanya setengah berteriak dari dapur.
Aku hanya diam saja. Bahkan sampai mama datang ke kamar. Aku masih diam saja.
“Nisa, kamu kenapa nak? Kamu kenapa gini terus. Mama jadi sedih, Nisa,” katanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca”
Aku hanya diam saja, tak ingin menjawab apa-apa. Benar.
“Kamu masih sedih gara-gara nggak ada ayah?” tanyanya sambil memegangi pundakku.
“Dengar Nis, diluar sana bukan cuma kamu yang ngalamin hal ini. Kan masih ada mama. Mama pasti jagain kamu terus. Mama janji, nak,” lanjutnya.
Nafasku serasa tertahan dikerongkongan mulutku. Mama… gumamku dalam hati.
“Sudah beberapa minggu terakhir kamu suka bolos untuk gereja. Mama juga tau, bahkan setelah 1 bulan papa meninggal. Waktu kamu bilang kamu mau gereja, kamu bohong kan? Kamu kemana, Nisa? Mama sengaja nggak nanyain ini sama kamu karena mama pikir kamu bakalan bilang hal yang jujur sama mama,” katanya lagi sambil berlinangan air mata.
“Aku ke kuburan ayah, Ma. Aku rindu kita bisa gereja bareng-bareng lagi. Aku rindu jalan-jalan sama-sama lagi. Aku iri sama mereka yang masih punya orang tua yang lengkap, Ma. Aku belum siap kalau ayah dipanggil Tuhan. Nisa nggak siap, Ma”
            Oh, Tuhan. Sungguh, rasanya aku tak sanggup melihat mama menangis karena kenakalanku. Segera saja kutinggalkan dia sendiri di kamarku. Rasanya ingin sekali kupeluk dia, rasanya aku ingin minta maaf padanya. Tapi, aku tak tau apa yang harus kulakukan. Segera saja kularikan tubuhku ke tempat pembaringan ayah yang terakhir. Aku sudah mulai nggak kuat sendiri tanpa sosoknya.

***
Kupandangi pusaranya yang masih tampak baru. Kuperhatikan tiap detail nisannya. Tak tahan lagi, segera kupeluk nisannya itu. Aku menangis sejadi-jadinya. Lalu berdoa setelahnya.
            Sekembalinya aku dari pemakaman, kulihat ibu sudah di kamar. Aku merasa ada yang aneh dengannya. Terlebih fisiknya. Ia seperti tampak lelah yang teramat sangat. Tapi, sudahlah. Tak ingin aku menambah beban pikiran lagi. Aku pun pergi melayangkan pandangan ke kamar dan masuk ke dalamnya.
***
“Kamu yang ngaduin aku sama mama? Kamu yang bilang aku nggak gereja waktu itu? Oh, gitu” kataku dengan seringai yang cukup lebar.
“Aku nggak negrti, Nisa” kata Nia dengan nada yang terkejut.
“Ah, sudahlah. Dasar muka dua. Percuma, bagus di luar doing, aslinya sih. Busuk. Sekali lagi ya, busuk!” kataku dengan penuh amarah.
Kutinggalkan dia di kelas sendirian dengan wajah penuh tanda tanya.

***
Tiba di rumah, kudapati pintu rumahku terbuka lebar. Aku bingung. Tiba-tiba handphone ku pun berdering nyaring tanda panggilan masuk. Ternyata dari tante Della.
“Hallo,” ujarku.
“Nisa, tante di rumah sakit sekarang. Mama kamu sudah di rumah sakit. Beliau di diagnosis terkena kanker, nak. Nia nanti ke rumah buat jemput kamu, tunggu ya!”
Mendengar hal itu, lututku goyah.
“Mama,” kataku pelan.
.
***
“Mama, mama sudah sadar?” kataku sambil memegangi jemarinya yang lemah.
Mama hanya tersenyum memandangiku.
“Mama kok nggak cerita kena kanker? Stadium 2 lagi” ujarku sambil mencubiti lemah lengannya.
Dia kembali tersenyum.
“Maafin Nisa, Ma. Ini pasti gara-gara Nisa. Mama sering masakin masakan enak buat Nisa supaya Nisa mau makan. Padahal mama sendiri bela-belain nggak makan. Mama juga suka nungguin Nisa sampai pulang buat ngechek apa Nisa makan masakan mama apa enggak” kataku sambil terbata-bata.
“Nisa aja yang sakit, Ma. Nisa nggak kuat liat mama kegini,” lanjutku dengan berlinangan air mata.
“Hidup dan mati itu ditangan Tuhan, nak. Sebisanya mama pasti bakalan coba buat bertahan. Mama kan udah janji mau jagain Nisa,” katanya lemah.
Kupeluk tubuhnya sekuat mungkin. Aku menyayanginya. Sungguh.
Mulai sekarang, tak kan lagi kukecewakan Dia. Tak kan lagi kukecewakan mama. Tak kan lagi kukecewakan ayah di surga sana. Ya, itu janjiku.

***
Tiga bulan berselang. Semua terasa menyenangkan. Mama sudah sehat seperti sedia kala. Nisa yang dulu kukenal kembali seperti Nisa yang sebagaimana mestinya.
Mujizat itu nyata. Benar-benar nyata.
“Terimakasih Tuhan. Aku mencintai mereka. Ayah, mama, orang-orang terkasih lainnya. Terutama Engkau.  Aku tau ya Bapa, hidup dan matiku, hidup dan mati mereka hanya ditangan-Mu. Kau sungguh luar biasa. Amin.”
Selesai berdoa di bangku gereja paling depan, kugamit lengan mama dengan manja. Aku Kuliat wajah mama begitu damai menenagkan. Ia tampak begitu bahagia. Begitu juga aku. Aku bahagia.

Love

Melva