Aku bisa
mendengar bagaimana riangnya detik jarum jam yang bergerak 360 derajat yang
mungkin saja sedang menertawakan kediamanku. Aku bahkan bisa merasa bagaimana
semilir angin yang bertiup dibalik dinding kamarku. Pelan-pelan kutarik nafas
dan kuhembuskan kembali bersama oksigen yang ada di tempat teraman untukku.
Ya, aku disini.
Sendiri. Seperti biasa.
Tak ada yang
baru. Tak ada yang berubah.
Aku hanya suka
berdiam dan berbicara dari hati ke hati dengan tembok diam yang sedang kuamati
dengan seksama atau yang pun aku punggungi. Aku belum gila. Aku tau tembok tak
punya hati. Hahaha.
Entah sensasi
seperti apa ini. Aku hanya suka berbicara
dengan 4 sudut sisi putih dari ruang dimana ¼ atau 1/5 hariku kuhabiskan didalamnya.
Bagaimana tidak? Muak rasanya berlama-lama dikeramaian sementara tak ada yang
mampu mendengarkan. Jenuh rasanya berada dalam formalitas canda-tawa yang
terdengar gurih, padahal sebenarnya sama sekali garing dibaliknya.
Menurutku
dinding-dinding ini adalah pendengarku yang paling setia dan yang paling
mengerti. Mereka memang tak punya hati, bahkan telinga untuk mendengar. Tapi,
aku hanya ingin kamu tau. Bahwa benda mati pun bisa kau jadikan teman untuk
meluapkan apa yang kamu rasa, atau sekedar mengungkapkan pikiranmu semata.
Entahlah bagaimana harus menjelaskannya.
Aku duduk
menekuk lututku. Ketakutan? Kedinginan?
Tidak juga, ini
hanya kebiasaanku yang kulakukan untuk dapat waktu tenang.
Aku mulai
terbiasa menjadikan mereka teman berbicara. Mereka lah yang berdialog denganku.
Bagaimana bisa? Aku memimpin mereka berargumen dalam kepalaku. Aku memang suka
soliloki. Apalagi dengan 4 sisi yang perlahan mulai pudar warnanya. Mungkin
demikian juga dengan jati diri si dia yang sering memanfaatkan dinding-dinding
beton tersebut.
Sering aku
bersedih didepan mereka, menangis lalu tenggelam pelan-pelan dan masuk ke dunia
mimpiku. Aku suka. Aku menikmati masa-masa pencarian jawaban atas setiap
pertanyaan yang kulontarkan dengan 4 sisi dinding kamarku.
Disinilah aku…
Tak mau
diganggu, tak mau dirayu.
Mungkin tak ada
yang mengerti. Jelas, dan sudah pasti.
Terimakasih,
empatsisikamarkuyangputihnyamulaimemudar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar