Pukul
12.18.
Aku
belum bisa memejamkan mataku. Manik mataku masih bisa fokus dengan apa yang ada
dalam genggamanku kini. Dua gambar orang yang aku kenal dengan baik. Tawa
mereka begitu jelas dengan lesung pipi yang tertancap dalam di pipi kiri keduanya.
Tepat 5 tahun lalu saat si perempuan berulang tahun yang ke 23 tahun, momen itu
ditangkap oleh bidikkan kamera model baru brand terkenal tahun 2000an.
Kuhempaskan pelan pigura hitam itu ke atas meja kerjaku sekenaknya. Pelan-pelan
bayangan si laki-laki itu makin menguat. Bagaimana dia dulu sangat amat
menyayangi si perempuan yang ada di dalam foto tadi. Ya, mereka adalah dia dan
aku yang sudah lama saling suka lalu jatuh cinta. Aku sudah mengenalnya selama
8 tahun hidupku. Aku ingat pertemuan pertamaku dengannya di perpustakaan kota.
Aku ingat bagaimana raut mukanya bingungnya waktu itu. Dia yang belakangan
kuketahui kebingungan mencari buku metodologi penelitian sontak terkejut
melihatku berdiri dengan santainya membaca buku incarannya. Wajar saja, aku
juga mencari buku itu untuk tugas Research on Proposal ku. Tapi bukan ini
bagian pentingnya.
Siang tadi, saat aku benar-benar lelah
dengan beban pekerjaan yang akhir-akhir ini berhasil memakan fokusku sampai
batasnya, kuputuskan kakiku untuk melangkah ke kafetaria di seberang jalan
tempatku biasa minum kopi sendirian. Awalnya aku biasa saja. Tap, tap, tap.
Kulangkahkan kakiku masuk dengan mantap, berharap cappuccino andalanku masih
tersisa. Entah kenapa, kafetaria yang 1 ini sering kali kehabisan kopi di
jam-jam kerja. Kurogoh tasku dan kukeluarkan dompetku. Sementara aku sibuk
mencari dompetku yang terselip dengan alat make up dan agendaku, aku
samar-samar mendengar suara yang taka sing lagi bagiku. Walau aku tau, pemilik
suara yang kukenal itu buncah tawanya mulai tak terdengar lagi selama 7x24
belakangan ini karena urusan kantor dan deadline-deadline yang memang mematikan
itu. Saat aku berhasil menemukan dompetku yang terjepit diantara sela-sela
kantong tas, aku asal mendongakkan kepala kearah antre an kasir. Jantungku
serasa tak berfungsi sepersekian detik. Aku tak percaya dengan apa yang aku
lihat. Gamit tangan seorang perempuan mendarat dengan begitu mesranya pada
laki-laki yang wangi parfumnya saja aku tahu betul. Waktu serasa berhenti
berputar. Aku pikir aku mulai berhalusinasi karena aku benar-benar
merindukannya saat akhirnya aku tersadar karena ada orang yang menyenggol
tegakku. Hampir aku terjatuh. Untung aku berdiri cukup jauh dari jarak mereka.
Aku menghambur keluar menyandangkan tasku keluar. Aku tiba-tiba merasa sudah
tak butuh asupan kopi kesukaanku. Aku kenyang. Aku rasa aku bisa bekerja 1
minggu penuh tanpa tidur. Aku sudah berhasil menghapus kantukku.
Saat pintu lift terbuka, aku menyeret
langkahku dengan gontai ke kamar kecil. Disitulah aku, mendaratkan emosiku.
Hujan membanjiri mukaku. Kau tau? Isak tangis tanpa suara rasanya lebih
menyakitkan. Tapi baiklah, aku tidak apa-apa, aku tidak apa-apa. Aku segera
meletakkan senyum di bibirku seolah hari ini adalah hari gajianku. Kutenggelamkan
diriku dengan laporan-laporan yang sebenarnya sudah kuselesaikan dari 2 hari
yang lalu. Aku jejali diriku dengan dokumen-dokumen yang sebenarnya jatuh
temponya masih minggu depan. Aku sibuk. Aku sangat sibuk hari itu. Ah, baiklah,
aku sengaja menyibukkan diriku dengan pekerjaanku.
12.30.
Aku merasa jadi wanita paling bodoh
sedunia. Bagaimana tidak? Kepercayaan 5 tahun yang kuberikan kepadanya hancur
dalam waktu 1 minggu. Aku membalikkan pigura itu. Aku tidak akan menangis malam
ini. Terlalu lelah. Intuisi wanita adalah hal hebat, sebelumnya memang aku
sudah curiga dengan laki-laki yang sangat menyukai karamel itu saat dia bilang
ada meeting dengan klien yang special. Ada janji makan siang dengan klien. Ada
acara dengan klien di malam minggu. Kukira aku tahu siapa klien itu. Wah, aku
bodoh. Kuakui itu sekarang.
Aku ingat bagaimana dia selalu
berhasil merebut hatiku saat hari-hariku sedang dilanda awan mendung. Aku ingat
bagaimana dia berhasil menghilangkan awan-awan hitam yang menggantung setiap
akhir bulan. Tugas kantor hampir melahapku kalau aku tidak benar-benar waras
saat itu. Dia selalu ada, saat itu. Aku ingat bagaimana dia selalu
mengingatkanku untuk mencatat jadwalku dalam reminder di ponselku. Aku ingat
bagaimana dia selalu mengomeliku saat aku memutuskan tidur larut karena
tuntutan pekerjaan. Aku juga ingat bagaimana dia selalu meerayu atau bahkan
terkesan memaksaku untuk bisa menghabiskan waktu akhir pekan bersama. Bermain
scrabble, playstation, atau lain sebagainya. Aku juga ingat bagaimana telatennya
dia mengurutkan arsip perusahaan lain sesuai dengan abjad jika akhirnya
tugas-tugasnya harus terpaksa diborong ke rumah. Aku ingat bagaimana dia dengan
santainya menyiram bonsai di pekarangan rumahnya. Dan aku juga ingat, bagaimana
dia selalu gagal menghabiskan kudapan pedas di toko di depan gang rumahnya.
Kukira aku sudah mengenalnya dengan sangat baik.
12.45.
Dia tak akan menghubungiku karena
Senin kemarin aku sudah bilang aku akan sangat amat sibuk dengan proyek baru.
Apa menjadi wanita karir benar-benar melumpuhkan kisah cintaku? Kupikir
seharusnya tidak. Ini bukan kali pertama baginya. Lagipula, dia biasanya lebih
dikerjar-kejar deadline dan gelagapan dengan tuntutan kantornya. Aku tau itu. Aku bisa saja tak memikirkan bahwa wanita itu
adalah wanita incarannya. Tapi rangkulan mesra itu sudah cukup menjelaskan
semuanya. Oh, oke! Aku mulai gila karena kembali melukai perasaanku dengan
mengingat wanita rok span dengan laki-lakiku, maksudku laki-laki yang dulu
pernah akan benar-benar menjadi milikku.
Jadi disinilah aku dengan kesimpulanku
bahwa aku tak mengenalnya dengan baik untuk soal kepercayaan. Ya, benar kucing
tidak akan menolak diberi ikan asin. Apa aku memberi umpan padanya? Entahlah!
Aku lelah memikirkan ini. Mungkin disinilah aku rasa aku harus berhenti.
Dipersimpangan yang aku percaya dia sudah sediakan karena wanita itu. Gusarku 1
minggu ini tentangnya terjawab sudah. Aku tak perlu lagi bertanya-tanya. Aku
sudah sampai pada akhirnya. Kubuka lagi pigura yang tadinya kubalikkan itu. Lamat-lamat
aku pandangi laki-laki bermantel biru itu. Sudah. Aku selesai dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar