Melva Sari Simangunsong

Dear people, this blog is not truly and merely about me n my life only. I am a random-post-writer. So I post everything in my mind.The thing that I wrote is not all about me, n not all about you. Thanks. :)

Kamis, 13 April 2017

Tik Tok

Pukul 12.18.
Aku belum bisa memejamkan mataku. Manik mataku masih bisa fokus dengan apa yang ada dalam genggamanku kini. Dua gambar orang yang aku kenal dengan baik. Tawa mereka begitu jelas dengan lesung pipi yang tertancap dalam di pipi kiri keduanya. Tepat 5 tahun lalu saat si perempuan berulang tahun yang ke 23 tahun, momen itu ditangkap oleh bidikkan kamera model baru brand terkenal tahun 2000an. Kuhempaskan pelan pigura hitam itu ke atas meja kerjaku sekenaknya. Pelan-pelan bayangan si laki-laki itu makin menguat. Bagaimana dia dulu sangat amat menyayangi si perempuan yang ada di dalam foto tadi. Ya, mereka adalah dia dan aku yang sudah lama saling suka lalu jatuh cinta. Aku sudah mengenalnya selama 8 tahun hidupku. Aku ingat pertemuan pertamaku dengannya di perpustakaan kota. Aku ingat bagaimana raut mukanya bingungnya waktu itu. Dia yang belakangan kuketahui kebingungan mencari buku metodologi penelitian sontak terkejut melihatku berdiri dengan santainya membaca buku incarannya. Wajar saja, aku juga mencari buku itu untuk tugas Research on Proposal ku. Tapi bukan ini bagian pentingnya.
          Siang tadi, saat aku benar-benar lelah dengan beban pekerjaan yang akhir-akhir ini berhasil memakan fokusku sampai batasnya, kuputuskan kakiku untuk melangkah ke kafetaria di seberang jalan tempatku biasa minum kopi sendirian. Awalnya aku biasa saja. Tap, tap, tap. Kulangkahkan kakiku masuk dengan mantap, berharap cappuccino andalanku masih tersisa. Entah kenapa, kafetaria yang 1 ini sering kali kehabisan kopi di jam-jam kerja. Kurogoh tasku dan kukeluarkan dompetku. Sementara aku sibuk mencari dompetku yang terselip dengan alat make up dan agendaku, aku samar-samar mendengar suara yang taka sing lagi bagiku. Walau aku tau, pemilik suara yang kukenal itu buncah tawanya mulai tak terdengar lagi selama 7x24 belakangan ini karena urusan kantor dan deadline-deadline yang memang mematikan itu. Saat aku berhasil menemukan dompetku yang terjepit diantara sela-sela kantong tas, aku asal mendongakkan kepala kearah antre an kasir. Jantungku serasa tak berfungsi sepersekian detik. Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Gamit tangan seorang perempuan mendarat dengan begitu mesranya pada laki-laki yang wangi parfumnya saja aku tahu betul. Waktu serasa berhenti berputar. Aku pikir aku mulai berhalusinasi karena aku benar-benar merindukannya saat akhirnya aku tersadar karena ada orang yang menyenggol tegakku. Hampir aku terjatuh. Untung aku berdiri cukup jauh dari jarak mereka. Aku menghambur keluar menyandangkan tasku keluar. Aku tiba-tiba merasa sudah tak butuh asupan kopi kesukaanku. Aku kenyang. Aku rasa aku bisa bekerja 1 minggu penuh tanpa tidur. Aku sudah berhasil menghapus kantukku.
          Saat pintu lift terbuka, aku menyeret langkahku dengan gontai ke kamar kecil. Disitulah aku, mendaratkan emosiku. Hujan membanjiri mukaku. Kau tau? Isak tangis tanpa suara rasanya lebih menyakitkan. Tapi baiklah, aku tidak apa-apa, aku tidak apa-apa. Aku segera meletakkan senyum di bibirku seolah hari ini adalah hari gajianku. Kutenggelamkan diriku dengan laporan-laporan yang sebenarnya sudah kuselesaikan dari 2 hari yang lalu. Aku jejali diriku dengan dokumen-dokumen yang sebenarnya jatuh temponya masih minggu depan. Aku sibuk. Aku sangat sibuk hari itu. Ah, baiklah, aku sengaja menyibukkan diriku dengan pekerjaanku.
          12.30.
          Aku merasa jadi wanita paling bodoh sedunia. Bagaimana tidak? Kepercayaan 5 tahun yang kuberikan kepadanya hancur dalam waktu 1 minggu. Aku membalikkan pigura itu. Aku tidak akan menangis malam ini. Terlalu lelah. Intuisi wanita adalah hal hebat, sebelumnya memang aku sudah curiga dengan laki-laki yang sangat menyukai karamel itu saat dia bilang ada meeting dengan klien yang special. Ada janji makan siang dengan klien. Ada acara dengan klien di malam minggu. Kukira aku tahu siapa klien itu. Wah, aku bodoh. Kuakui itu sekarang.
          Aku ingat bagaimana dia selalu berhasil merebut hatiku saat hari-hariku sedang dilanda awan mendung. Aku ingat bagaimana dia berhasil menghilangkan awan-awan hitam yang menggantung setiap akhir bulan. Tugas kantor hampir melahapku kalau aku tidak benar-benar waras saat itu. Dia selalu ada, saat itu. Aku ingat bagaimana dia selalu mengingatkanku untuk mencatat jadwalku dalam reminder di ponselku. Aku ingat bagaimana dia selalu mengomeliku saat aku memutuskan tidur larut karena tuntutan pekerjaan. Aku juga ingat bagaimana dia selalu meerayu atau bahkan terkesan memaksaku untuk bisa menghabiskan waktu akhir pekan bersama. Bermain scrabble, playstation, atau lain sebagainya. Aku juga ingat bagaimana telatennya dia mengurutkan arsip perusahaan lain sesuai dengan abjad jika akhirnya tugas-tugasnya harus terpaksa diborong ke rumah. Aku ingat bagaimana dia dengan santainya menyiram bonsai di pekarangan rumahnya. Dan aku juga ingat, bagaimana dia selalu gagal menghabiskan kudapan pedas di toko di depan gang rumahnya. Kukira aku sudah mengenalnya dengan sangat baik.
          12.45.
          Dia tak akan menghubungiku karena Senin kemarin aku sudah bilang aku akan sangat amat sibuk dengan proyek baru. Apa menjadi wanita karir benar-benar melumpuhkan kisah cintaku? Kupikir seharusnya tidak. Ini bukan kali pertama baginya. Lagipula, dia biasanya lebih dikerjar-kejar deadline dan gelagapan dengan tuntutan kantornya. Aku tau itu.  Aku bisa saja tak memikirkan bahwa wanita itu adalah wanita incarannya. Tapi rangkulan mesra itu sudah cukup menjelaskan semuanya. Oh, oke! Aku mulai gila karena kembali melukai perasaanku dengan mengingat wanita rok span dengan laki-lakiku, maksudku laki-laki yang dulu pernah akan benar-benar menjadi milikku.

          Jadi disinilah aku dengan kesimpulanku bahwa aku tak mengenalnya dengan baik untuk soal kepercayaan. Ya, benar kucing tidak akan menolak diberi ikan asin. Apa aku memberi umpan padanya? Entahlah! Aku lelah memikirkan ini. Mungkin disinilah aku rasa aku harus berhenti. Dipersimpangan yang aku percaya dia sudah sediakan karena wanita itu. Gusarku 1 minggu ini tentangnya terjawab sudah. Aku tak perlu lagi bertanya-tanya. Aku sudah sampai pada akhirnya. Kubuka lagi pigura yang tadinya kubalikkan itu. Lamat-lamat aku pandangi laki-laki bermantel biru itu. Sudah. Aku selesai dengannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar