Melva Sari Simangunsong

Dear people, this blog is not truly and merely about me n my life only. I am a random-post-writer. So I post everything in my mind.The thing that I wrote is not all about me, n not all about you. Thanks. :)

Jumat, 16 Juni 2017

Merindukan Kampung Halaman

Melihat senyum ibu bapak di halaman rumah dengan rambut yang mulai memutih tapi raut muka yang masih segar. Ya, itulah harapan pertamaku saat nanti aku sampai ke rumah. Kembali ke tempat dimana aku biasa menumpahkan dan menceritakan masalah kehidupan yang kian pelik. Ya, aku kabur. Kabur sementara dari keberadaan angka yang siap sedia untuk aku jejali setiap harinya di kantor. Aku kabur dari masalah laporan, tagihan tugas dan meeting yang biasanya kugeluti setiap harinya. Aku melarikan diri dengan legal menghindari buku rapat dan telepon client yang biasanya kutangani hampir setiap hari. Kutarik nafasku, menggusar sebentar. 

Apa kabar hari-hariku setelah liburan ini? Kembali ke rutinitas kerja yang pasti berhasil mengambil hampir seluruh fokusku. Hahaha, aku tertawa dalam hati. Nanti saja, gumamku. Aku toh harus menikmati liburan ini dengan hikmad. Kualihkan pandanganku lewat jendela dari kursi kelas ekonomi yang kududuki sekarang. Hamparan padi yang mulai menguning. Ah, tak lama lagi istanaku, raja dan ratuku bisa kurengkuh dalam pelukku. Segera kubuka telepon genggamku, mengetik beberapa kata mengabari ibu kalau aku akan segera tiba di rumah. Senyum masgul terkembang. Aku rindu masakan perempuan paruh baya yang selalu bagiku adalah masakan terenak sejagad raya. Aku rindu membuatkan kopi bagi lelaki tertampan sedunia. Aku rindu walau sekedar menyapu rumah yang menurutku lebih nyaman bahkan dari istana kepala negara yang bisa aku lihat dari layar kaca. Tiit tiit, telepon genggamku berbunyi, pesan dari ibu. Tertulis, “Iya, nak. Hati-hati ya”. Liburan kali ini akan jadi liburan yang paling kudambakan. Sejenak menghilang dari hiruk pikuk ibukota adalah cita-citaku awal tahun lalu, sayangnya bosku yang berkumis tebal nan kocak itu tak memberi izin. Kupikir aku tidak akan merindukan bos terbaikku untuk saat ini. Ibu bapak jauh lebih candu.

Kereta berhenti di sebuah stasiun. Dengan hikmad aku lamat-lamat memperhatikan pergerakan orang-orang. Mulai dari penjual kacang dan mie instan yang berkeliaran menjajakan dagangan mereka, penumpang-penumpang yang baru turun dengan banyak sekali barang bawaan sampai beberapa laki-laki metropolitan dan nona-nona sosialita yang kutebak mereka agak berat harus naik kereta. Entahlah, aku tak ingin memikirkan mereka lebih jauh. Aku kembali mengedarkan pandanganku kesekeliling. Kulihat seorang ibu yang kuduga umurnya masih akhir 20an dengan lampin membungkus buah hatinya yang masih balita. Dari pandanganku, anak itu terlihat imut sekali dengan kompeng yang berwarna pink terang itu. Ibu muda itu men-ssh kan bayinya. Keringat ibu itu mulai bercucuran. Namun semangatnya mudik bisa kulihat dari raut mukanya yang sama sekali tak terlihat kesal bahkan lebih ke arah gembira, menatap suami dan anaknya secara bergantian. Kau tau? Liburan berhasil menebar kebahagiaan, khususnya bagi kami para pemudik. Kembali ke kampung halaman adalah kesempatan emas mencurahkan rindu bagi keluarga di tempat tujuan.

Kereta meluncur kembali, lokomotif bergerak mengejar jarak. Cess. Cess. Cess. Yes, aku sebentar lagi tiba. Begitu terus yang kukatakan dalam hati, entah sudah berapa kali. Jarak jauh terasa dekat karena rindu. Aku kembali disibukkan dengan pemandangan di luar jendela. Ada 1 2 sapi yang masih berkeliaran walau hari mulai petang. Mungkin si pemilik ternak sengaja membiarkan ternaknya menghabiskan hari-hari terakhirnya, sebelum disembelih di hari raya pikirku. Sebentar kemudian aku bisa melihat pemukiman dan perkampungan yang aku hafal sekali. Belum banyak yang berubah. Tetanggaku Kirana dulu sering sekali mengajakku ke daerah ini sekedar mencari bakso Pak Triyono. Ya, kesukaannya. Apa kabar Kirana ya? Apa dia juga pulang kampung? Kirana, gadis seusiaku yang tempat tinggalnya hanya 3 rumah dari rumahku di kampung. Dulu kami sering sekali mandi di sungai, memandikan kerbau, mencuri rambutan pak Somad. Hahaha. Kirana dan aku memang dulu bersahabat baik, namun sekarang walaupun kami tetap berkomunikasi, itu sudah jarang. Kirana dan aku sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku berharap dia pulang liburan ini. Setidaknya kami bisa berkeliling di petakan sawah sambil membagi cerita nantinya.

Lampu jalanan sudah mulai dihidupkan. Jalanan mulai sepi. Cess. Cess. Cess. Kami tiba di stasiun pukul 06.15. Suara adzan bisa kudengar jelas. Aku menyampirkan tasku ke samping. Segera aku mencari tumpangan ke desa. Syukurnya masih ada angkot yang beroperasi. Aku menyatakan tujuan. Senyumku jauh lebih lebar sekarang. Semacam orang yang baru dapat THR 20 juta. Dua puluh menit berlalu. Aku tiba di desaku. Turun dari angkot, kuhirup udara desa yang kucinta ini dalam-dalam. Aku melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Bisa kulihat anak-anak desa mulai berlarian ke surau. Ada yang sibuk mencari sandalnya di depan rumah, ada juga yang lari terbirit-birit dengan sarung kotak-kotaknya. Tak mau terlambat mengaji pikirku. Desa masih sama. Masih rapi, indah dan…damai. Begitu perasaanku.

Rumahku tinggal 20 meter. Bisa kulihat ibu bapak ternyata sudah menungguku di halaman rumah. Kupercepat langkahku. Tepat seperti harapanku saat diperjalanan tadi, ibu bapak ada di halaman rumah menyambutku. Rambut putih mereka semakin banyak tapi raut wajah mereka selalu segar dengan jiwa muda. Segera kusalam ibu bapak dengan perasaan haru. Kupeluk ibu erat-erat. Ada banyak hal yang ingin kubagi dengannya. Bapak menatapku dengan tatapan sukacita. “Mari nduk, masuk! Kamu mandi dulu ya, ibu sudah masak sayur asam kesukaanku,” kata ibu. “Iya, nduk. Kamu kan sudah capek di jalan”,  sambar ayah sambil menenteng tas bawaanku. Dan ibu bapak memang tidak pernah berubah, selalu penuh kasih.

Hi, kamu…selamat liburan.


                                             Dariku, anak desa yang selalu rindu rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar