Sore
ini saat jarum panjang di jam analog hitamku menunjukkan angka 6, sementara
jarum pendek hampir mendekati angka 3, aku bertekur dalam diam diantara 2
bangunan ruko di pinggir jalan kota yang tidak terlalu besar ini. Bangunan ini
sering saya lewati saat saya hendak pergi ke kampus atau pasar. Saya sudah
familiar dengan daerah ini. Bagaimana tidak? Sudah 21 tahun saya tinggal
disini. Tak jemu dan tak bosan. Atau mungkin pura-pura tak bosan dengan keadaan
yang ada agar tetap bisa terbiasa dan betah, jika saya harus menyebutnya
sebagai betah.
Saya
sedang sendirian berteduh. Saya biarkan motor saya terparkir sekenaknya di
depan ruko. Asal joknya tidak terlalu basah terkena tampias hujan, biarlah.
Mungkin
tak ada yang sadar kalau ruko ini bisa dijadikan empat berteduh. Mungkin karena
di sisi kanannya ada pagar ruko sebelah yang terlalu menghabiskan jarak di
depan. Sehingga pengendara yang lewat tak menyadari bahwa ada ruang kosong
untuk berteduh. Bingung? Hahaha. Intinya saya sendirian dengan tangan yang
mulai menggenggam erat karena suhu yang semakin turun.
Barangkali saya sudah berada 15 menit disini. Dengan ujung kaos kaki yang airnya mulai merembes
ke ujung kaki kiri dan kanan saya. Genangan air yang tak bisa saya hindari sebelum
saya berteduh tadi membuat sepatu kain saya basah. Bisa saya rasa kedinginan
mulai menjalari pori-pori kulit.
Kali
ini langit menangis dengan derasnya. Sesekali cahaya kilat yang menyilaukan
mata turun ke bumi, diikuti dengan gemuruh petir yang rajin sekali menyapa
dalam jam tayangnya. Saya hanya bisa menutup mata sambil menutup telinga. Takut
kalau petir singgah ke tempat saya berdiri.
Saya
makin kedinginan.
Jaket
tipis yang sebenarnya hanyalah sweater lusuh yang sedang saya kenakan tidak
mampu mengurangi rasa kedinginan yang pelan-pelan membuat urat dan syaraf saya
terasa beku. Saya hanya bisa menggosok-gosokkan kedua telapak tangan, berharap
kalau dingin yang melanda bisa berkurang.
Segera
saya tiup kedua tangan yang sedang saya gosok-gosokkan dan refleks saya
bergidik pertanda dingin enggan pergi.
Menggosok-gosokkan
kedua telapak tangan mengingatkan saya pada sosok kamu, ya kamu. Kamu yang dulu
pernah jadi sumber kehangatan saat hujan turun dengan derasnya. Sering kita
berteduh berdua, di ruko pinggiran jalan yang sedang tertutup pintunya. Persis
seperti saat ini ini.
Saya
pun menilik pintu-pintu ruko dengan warna birunya yang cerah, pertanda
bahwa pintu ruko ini catnya masih baru. Saya pun hanya bisa mengulum senyum.
Mengapa hanya dengan menatap pintu ruko pun bisa mengingatkan saya padamu,
laki-laki masa laluku?
“Hidup
memang terus berjalan, bukan?” Kata saya dalam hati. Tapi apalah salahnya
mengenang kamu, jika itu bisa menghangatkan saya yang mulai memucat karena kedinginan?
Ya kan?
Saya
ingat dulu bagaimana kamu begitu posesifnya mengenakan jaketmu ke badan saya
saat saya mulai menggigil kedinginan. Saya ingat betul bagaimana caramu
meniupkan udara dari mulut sambil menggosok-gosokkan tangan saya bersama dengan
kedua tanganmu. Tak peduli dengan beberapa pasang mata yang mulai mencuri-curi
pandang kearah kita, kamu terus berusaha memastikan bahwa kedinginan tak pelan-pelan
membuat saya menggigil lebih parah.
Saya
juga ingat bagaimana kamu mengajak saya bercerita tentang momen-momen kamu
pernah kehujanan bersama ibumu, atau saat kamu pernah hampir jatuh dari motor
di jalanan berlubang dan licin, atau saat kamu terlambat kuliah karena hujan
dan tidak diizinkan masuk oleh dosen. Sekarang saya baru sadar, bahwa itu semua
kamu lakukan agar saya pelan-pelan bisa melupakan rasa dingin yang menjalari
badan saya.
Saya
hanya bisa tersenyum lirih, menarik nafas panjang dan kembali mengamati
sekitar.
Adalah sepasang muda-mudi di seberang sana, tampak kedinginan dengan tangan yang memeluk diri masing-masing. Pelan-pelan bisa saya lihat bagaimana si laki-laki akhirnya menawarkan jaketnya untuk dipakai si wanita. Si wanita menerimanya, dan laki-laki yang tadi membantunya memakai jaket itu. Dan dengan amat jelas saya bisa melihat bahwa laki-laki itu makin kedinginan, karena dia hanya mengenakan kaus putih tipis. Bisa saya lihat bagaimana mereka kemudian terlibat dalam percakapan yang hangat. Terlihat dari senyum mereka yang tanpa saya sadari ikut merekahkan senyum pula di kedua ujung bibir saya.
Kemudian
saya mengalihkan pada pandangan ke dua orang perempuan yang baru saja berhenti
tak jauh dari muda-mudi tadi. Saya bisa melihat bagaimana raut muka kesal
mereka terpancar dengan jelas. Kegelisahan tergambar jelas disana. Mungkin
mereka sedang diburu waktu, atau mungkin mereka tidak suka hujan seperti ini. Merepotkan.
Lalu adalagi seorang perempuan yang juga baru turun dengan vespa pinknya.
Perempuan ini segera mencari ruang untuk berteduh. Saya tak melihat kekesalan
yang sama dengan 2 figur tadi. Dia terlihat biasa saja. Mungkin dia sudah
sering berkompromi dengan hujan dan mengalah untuk berteduh agar tidak
kebasahan.
Saya masih mengamati mereka dari kejauhan, ternyata pelan-pelan mereka mulai tenggelam dalam percakapan hangat. Semakin saya sadar, bahwa hujan memang benar bisa mengenalkan “ramah” secara tidak langsung bagi orang-orang yang sedang dilandanya. Mereka terlihat semakin akrab dengan senyum dan tawa yang lepas.
Saya
pun kemudian ikut tersenyum.
Sekarang
jam sudah menunjukkan 6.30. Lamat-lamat saya menatap langit. Hujan masih belum
reda. Memang sudah tidak sederas tadi. Tapi tetaplah masih menunda saya untuk
meneruskan perjalanan pulang ke rumah.
Kepada
hujan, saya mengakui kalau saya merindukan sosok yang biasanya menemani saya
dalam situasi seperti ini.
Kamu,
apa ditempatmu sedang hujan? Saya sadar mungkin suratan takdir tak akan
mengijinkan kita untuk kembali bersama. Tapi, saya hanya ingin kamu tau, kalau
saya merindu. Semoga hujan kali ini bisa membawa rasa rindu saya kepada kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar