Melva Sari Simangunsong

Dear people, this blog is not truly and merely about me n my life only. I am a random-post-writer. So I post everything in my mind.The thing that I wrote is not all about me, n not all about you. Thanks. :)

Minggu, 16 November 2014

Ketika Hujan Turun Sore Ini

Sore ini saat jarum panjang di jam analog hitamku menunjukkan angka 6, sementara jarum pendek hampir mendekati angka 3, aku bertekur dalam diam diantara 2 bangunan ruko di pinggir jalan kota yang tidak terlalu besar ini. Bangunan ini sering saya lewati saat saya hendak pergi ke kampus atau pasar. Saya sudah familiar dengan daerah ini. Bagaimana tidak? Sudah 21 tahun saya tinggal disini. Tak jemu dan tak bosan. Atau mungkin pura-pura tak bosan dengan keadaan yang ada agar tetap bisa terbiasa dan betah, jika saya harus menyebutnya sebagai betah.

Saya sedang sendirian berteduh. Saya biarkan motor saya terparkir sekenaknya di depan ruko. Asal joknya tidak terlalu basah terkena tampias hujan, biarlah.

Mungkin tak ada yang sadar kalau ruko ini bisa dijadikan empat berteduh. Mungkin karena di sisi kanannya ada pagar ruko sebelah yang terlalu menghabiskan jarak di depan. Sehingga pengendara yang lewat tak menyadari bahwa ada ruang kosong untuk berteduh. Bingung? Hahaha. Intinya saya sendirian dengan tangan yang mulai menggenggam erat karena suhu yang semakin turun.

Barangkali saya sudah berada 15 menit disini. Dengan ujung kaos kaki yang airnya mulai merembes ke ujung kaki kiri dan kanan saya. Genangan air yang tak bisa saya hindari sebelum saya berteduh tadi membuat sepatu kain saya basah. Bisa saya rasa kedinginan mulai menjalari pori-pori kulit.

Kali ini langit menangis dengan derasnya. Sesekali cahaya kilat yang menyilaukan mata turun ke bumi, diikuti dengan gemuruh petir yang rajin sekali menyapa dalam jam tayangnya. Saya hanya bisa menutup mata sambil menutup telinga. Takut kalau petir singgah ke tempat saya berdiri.
Saya makin kedinginan.

Jaket tipis yang sebenarnya hanyalah sweater lusuh yang sedang saya kenakan tidak mampu mengurangi rasa kedinginan yang pelan-pelan membuat urat dan syaraf saya terasa beku. Saya hanya bisa menggosok-gosokkan kedua telapak tangan, berharap kalau dingin yang melanda bisa berkurang.

Segera saya tiup kedua tangan yang sedang saya gosok-gosokkan dan refleks saya bergidik pertanda dingin enggan pergi.

Menggosok-gosokkan kedua telapak tangan mengingatkan saya pada sosok kamu, ya kamu. Kamu yang dulu pernah jadi sumber kehangatan saat hujan turun dengan derasnya. Sering kita berteduh berdua, di ruko pinggiran jalan yang sedang tertutup pintunya. Persis seperti saat ini ini.

Saya pun menilik pintu-pintu ruko dengan warna birunya yang cerah, pertanda bahwa pintu ruko ini catnya masih baru. Saya pun hanya bisa mengulum senyum. Mengapa hanya dengan menatap pintu ruko pun bisa mengingatkan saya padamu, laki-laki masa laluku?

“Hidup memang terus berjalan, bukan?” Kata saya dalam hati. Tapi apalah salahnya mengenang kamu, jika itu bisa menghangatkan saya yang mulai memucat karena kedinginan? Ya kan?

Saya ingat dulu bagaimana kamu begitu posesifnya mengenakan jaketmu ke badan saya saat saya mulai menggigil kedinginan. Saya ingat betul bagaimana caramu meniupkan udara dari mulut sambil menggosok-gosokkan tangan saya bersama dengan kedua tanganmu. Tak peduli dengan beberapa pasang mata yang mulai mencuri-curi pandang kearah kita, kamu terus berusaha memastikan bahwa kedinginan tak pelan-pelan membuat saya menggigil lebih parah.

Saya juga ingat bagaimana kamu mengajak saya bercerita tentang momen-momen kamu pernah kehujanan bersama ibumu, atau saat kamu pernah hampir jatuh dari motor di jalanan berlubang dan licin, atau saat kamu terlambat kuliah karena hujan dan tidak diizinkan masuk oleh dosen. Sekarang saya baru sadar, bahwa itu semua kamu lakukan agar saya pelan-pelan bisa melupakan rasa dingin yang menjalari badan saya.

Saya hanya bisa tersenyum lirih, menarik nafas panjang dan kembali mengamati sekitar.

Adalah sepasang muda-mudi di seberang sana, tampak kedinginan dengan tangan yang memeluk diri masing-masing. Pelan-pelan bisa saya lihat bagaimana si laki-laki akhirnya menawarkan jaketnya untuk dipakai si wanita. Si wanita menerimanya, dan laki-laki yang tadi membantunya memakai jaket itu. Dan dengan amat jelas saya bisa melihat bahwa laki-laki itu makin kedinginan, karena dia hanya mengenakan kaus putih tipis. Bisa saya lihat bagaimana mereka kemudian terlibat dalam percakapan yang hangat. Terlihat dari senyum mereka yang tanpa saya sadari ikut merekahkan senyum pula di kedua ujung bibir saya.

Kemudian saya mengalihkan pada pandangan ke dua orang perempuan yang baru saja berhenti tak jauh dari muda-mudi tadi. Saya bisa melihat bagaimana raut muka kesal mereka terpancar dengan jelas. Kegelisahan tergambar jelas disana. Mungkin mereka sedang diburu waktu, atau mungkin mereka tidak suka hujan seperti ini. Merepotkan. Lalu adalagi seorang perempuan yang juga baru turun dengan vespa pinknya. Perempuan ini segera mencari ruang untuk berteduh. Saya tak melihat kekesalan yang sama dengan 2 figur tadi. Dia terlihat biasa saja. Mungkin dia sudah sering berkompromi dengan hujan dan mengalah untuk berteduh agar tidak kebasahan.

Saya masih mengamati mereka dari kejauhan, ternyata pelan-pelan mereka mulai tenggelam dalam percakapan hangat. Semakin saya sadar, bahwa hujan memang benar bisa mengenalkan “ramah” secara tidak langsung bagi orang-orang yang sedang dilandanya. Mereka terlihat semakin akrab dengan senyum dan tawa yang lepas.
Saya pun kemudian ikut tersenyum.

Sekarang jam sudah menunjukkan 6.30. Lamat-lamat saya menatap langit. Hujan masih belum reda. Memang sudah tidak sederas tadi. Tapi tetaplah masih menunda saya untuk meneruskan perjalanan pulang ke rumah.

Kepada hujan, saya mengakui kalau saya merindukan sosok yang biasanya menemani saya dalam situasi seperti ini.

Kamu, apa ditempatmu sedang hujan? Saya sadar mungkin suratan takdir tak akan mengijinkan kita untuk kembali bersama. Tapi, saya hanya ingin kamu tau, kalau saya merindu. Semoga hujan kali ini bisa membawa rasa rindu saya kepada kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar