Aku berjalan mendekat kearah balkon abu-abu
yang terpancang diperbatasan lantai paling atas kamar kos ku. Memandangi
beberapa gumpal besar awan yang sedang menggantung dengan warnanya yang putih
seperti kapas dilangit senja sambil mendengar musik dari headphone hijau besar
yang terpasang di kedua telinga kiri dan kananku.
Lagu yang kudengar adalah soundtract
satu film Disney! Kau tau kan? Si peri hijau itu. Lagu yang pas untuk petang kali
ini.
Jika saja aku adalah seorang peri, atau jika
aku punya sayap seperti bidadari bak yang digambarkan serial anak atau seperti
yang ditayangkan di beberapa sinetron televisi swasta, mungkin sudah kuhabiskan
menit dan detik, jam dan hariku disana. Bercengkrama dengan langit biru dan
bersenandung lewat desau angin yang kurasa akan cepat membuatmu merasakan
kantuk.
Tak terasa sudah hampir 20 menit
kuhabiskan waktuku dengan lamunan dan khayalanku jadi jelmaan tinkerbell saat
kusadari jam tangan di tangan kiri coklatku sudah menunjukkan jarum panjangnya
yang berwarna hitam ke angka 2.
Kumatikan Ipod ku yang kusadari
baterainya tinggal sedikit, karena semalam aku lupa mencharge. Segera headphone
pun kukalungkan keleher.
“Hmm,” gumamku sambil menarik nafas dan
melengos panjang lalu mengulum senyum.
Ini adalah soreku yang senggang, dimana
aku tak perlu kemana-mana karena urusan hari ini sudah selesai kukerjakan sejak
3 jam yang lalu. Menyenangkan bukan saat kau bisa mencicipi waktu luangmu untuk
hal-hal yang memang kau rindukan? Seperti aku misalnya, rindu menatap langit
senja dari bawah langit biru yang perlahan berganti menjadi jingga.
Aku selalu suka tempat ini. Kurasakan
jika oksigen yang kuhirup adalah oksigen suci yang tak ‘kan kau dapatkan
dimanapun di kota yang padat semrawut seperti ini, dimana metromini, bus, truk,
dan kendaraan pribadi lain beserta asapnya mengepul dimana-mana dan siap
menyerang kesehatan jantung dan paru-parumu kapan saja. Tentu saja tak
ketinggalan asap pabrik industri yang berasal dari pembakaran yang tidak
sempurna. Belum lagi…dari mereka… ya, mereka yang tidak bertanggung jawab
dengan cerutu, korek, dan rokok mereka. Bayangkan saja, mereka yang merasa
nikmat, lalu mengapa kita yang terkena imbasnya! Ya kan?
Apa hidup memang selalu tidak adil?
Saat kesenangan justru datang untuk mereka yang berbuat salah, dan getahnya ada
untuk mereka yang mestinya tidak mendapat derma berupa imbas dari apa yang
tidak mereka lakukan.
Yah, aku bersyukur, untuk ruang sekitar
5x6 meter ini mampu menyediakan ruang penggganti isi kantung udara di organ tubuhku
dengan udara yang seperti ini, segar dan alami. Entah kenapa hidungku pun
membaui oksigen yang ada di atas sini berbeda, lebih segar dan nyaman. Mungkin karena
ada hutan kecil yang ada dibelakang kosku, atau mungkin karena petak kebun
sayur yang dipaksakan ada disamping kos yang ditanami oleh ibu kosku? Atau ini
hanya sugesti yang coba aku buat sendiri, entahlah! Aku tak mau memikirkan si
oksigen lebih lama. Aku hanya mau menikmatinya, lebih lama.
Bisa kulihat bagaimana sepasang burung
gereja bertengger di tiang jemuran kosong yang jaraknya hanya 3 meter dariku.
Mereka terlihat begitu intim, saling mencicit dan mencoba bercerita dalam
bahasa mereka. Pemandangan ini sungguh menenangkan bagiku. Udara yang nyaman,
dan hati yang tenang membuatku mengulas senyum di kedua ujung bibirku.
10 menit lagi-lagi berlalu…
Kali ini bisa kulihat bagaimana si
oranye merangkak masuk ke sebelah barat. Beranjak pelan ke persinggahannya di
sebelah sana. Kusandarkan punggungku ke dinding yang catnya pelan-pelan bisa
kulihat mulai mengelupas. Aku terduduk di lantai semen sekenaknya.
Dengan hikmat aku mencium aroma senja
yang segera berganti malam…
Ada aroma khas kali ini, mungkin karena
tadi sempat hujan sebentar. Yang sebenarnya lebih cocok disebut gerimis.
1, 2, 3…
Bisa kulihat pelan-pelan mentari benar-benar
kembali ke peraduannya dan menghilang di ujung siluet bangunan tinggi di sudut
sana.
Apa senja selalu bisa seperti ini?
Menghadirkan masa dimana aku bisa melupakan kekhawatiranku terhadap dunia walau
sejenak dan memelukku dengan perasaan yang hangat lewat cahaya jingganya yang
terlalu sayang untuk dilewatkan lalu membiarkan aku terbuai dengan mood nya
yang menyenangkan? Andai saja, senja selalu luang dan menyenangkan seperti ini.
Terimakasih, senja kali ini.
Melva :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar