Melva Sari Simangunsong

Dear people, this blog is not truly and merely about me n my life only. I am a random-post-writer. So I post everything in my mind.The thing that I wrote is not all about me, n not all about you. Thanks. :)

Minggu, 07 Desember 2014

Mungkin Rindu? Pasti!

Entah angin apa yang membawaku ke tempat dimana aku dan kamu dulu menghabiskan senja sambil membiarkan malam pelan-pelan datang menghampiri. Hmmm, mungkin rindu.

Aku pergi ke tempat kita biasa berbagi cerita sambil melepas rasa lapar dan dahaga. Aku pergi ke rumah makan yang terbilang biasa saja dan bisa dikatakan masih tegolong sederhana, tempat kita biasanya makan sambil bercanda ria. Berdua.

Sore ini, keadaan rumah makan ini tidak terlalu ramai. Katakanlah sepi. Jam monolog yang melingkar di tangan kiriku menunjukkan 6.20. Hanya ada 2 pembeli yang minta dibungkuskan pesanannya. Tumben. Mungkin karena hari sudah mendung. O ya, dan 1 lagi laki-laki yang sedang menyantap batagor di meja depan. Bisa kulihat bagaimana dia sedikit terburu-buru menghabiskan makanan dan meneguk es teh di mejanya. Mungkin dia sedang dikejar waktu atau takut kehujanan pikirku.

Kali ini, aku (tentu) tidak pergi bersamamu lagi ke sana. Karena kisah kita sudah berbeda. Ini bukan kali pertama aku ke sana sendirian tanpa kamu. Namun, rasa janggal itu belum juga hilang. Apalagi pegawai yang sudah familiar dengan wajahku akhirnya menanyakan hal yang sebenarnya tak ingin aku dengar. Dia bertanya kenapa aku datang sendirian. Ah, aneh kan? Ini bukan kali pertama aku sendiri ke sini. Tapi perempuan yang biasa aku sapa dengan “mbak” dan yang biasa memasakkan nasi goreng kesukaan kita berdua menanyakan hal ini (lagi). Ya, lagi. Karena waktu pertama aku sendirian ke tempat ini, dia juga menanyakan hal yang sama.

Aku hanya bisa menjawab bahwa teman-temanku sedang sibuk, meski aku tau yang dimaksud perempuan yang mungkin berumur 25 tahunan itu adalah kamu, yang biasanya ada bersama aku di meja nomor dua dari belakang, tempat kesukaan kita untuk duduk.

Aku ingat makanan kesukaan kamu di tempat ini adalah nasi goreng dan es campurnya. Pun, aku demikian. Terkadang aku memesan es teler, dan kamu dengan gayamu yang mungkin bisa aku bilang imut untuk laki-laki seperti kamu menggodaku karena aku tidak memesan minuman yang sama dengan apa yang kamu pesan. Aku ingat bagaimana kamu bercanda dan bilang “Nggak boleh minta ya”, sambil menyunggingkan senyum kamu yang manis itu. Jika saja aku bisa terbang, aku akan pergi ke tempat kamu berada sekarang hanya untuk melihat kamu tersenyum meski harus mengudara, dan menguntitmu dari jauh.

Ini sudah hampir satu tahun, namun rasanya perasaan kehilangan ini masih erat tertancap; tak mau lepas.

Segera aku pasang earphone dan memainkan lagu lewat ipod yang aku bawa dari rumah, dan yah, lagu yang pertama terputar adalah lagu dari Tulus yang judulnya Sepatu. Aku penasaran apa kamu sudah mendengar lagu ini? Aku penasaran apa kamu juga merasa miris saat lirik-lirik lagu ini dilantunkan?

Sampailah aku ke bagian akhir lagu;Kita sadar ingin bersama. Tapi tak bisa apa-apa. Kita sadar ingin bersama. Tapi tak bisa apa-apa. Terasa lengkap bila kita berdua. Terasa sedih bila kita di rak berbeda. Di dekatmu kotak bagai nirwana. Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya. Cinta memang banyak bentuknya. Mungkin tak semua bisa bersatu.”

Saat lagu tersebut selesai dilantunkan, segera kumatikan benda kecil persegi empat berwarna silver itu dan kumasukkan ke sakuku. Aku sadar rasanya ada bendungan air yang hendak tumpah dari pelupuk mataku. Ingin sekali aku membiarkannya jatuh begitu saja, tapi itu tidak kulakukan. Pertanyaannya adalah apa laki-laki seperti kamu harus kutangisi lagi dan lagi? Sementara kamu disana tidak pernah mengabariku. Oh, mungkin seharusnya tidak. Toh kita sudah berpisah. Sudahlah.

Tak lama berselang, pesananku datang. Aku tersenyum seperti biasa dengan mbak yang tidak kutau namanya. Sebetulnya dari banyaknya frekuensi aku datang ke tempat ini, aku belum mengenal 1 nama pun dari pegawai yang ada disini. Karena mereka tidak mengenakan name tag, meskipun mereka memagai seragam.

Aku terkejut saat es telerku datang. Bukan soal es telernya, tapi pertanyaan mas-mas yang memang bagiannya di minuman bertanya “Pacarnya sibuk ya, Mbak? Nggak pernah liat lagi.”

Mendengar bagaimana laki-laki berseragam kemeja hijau itu bertanya, sebagai jawaban aku hanya tersenyum saja dan mengucapkan terimakasih, dan segera mengalihkan pandangan ke hidangan yang sudah tersedia di depanku.

Ingin rasanya aku menghambur ke luar dan segera pulang, tapi hal konyol itu tidak aku lakukan mengingat bagaimana reaksi-reaksi pegawai tempat makanan kesukaan aku ini. Mungkin mereka akan menganggap aku sebagai ABG labil, atau wanita gila.

Sebenarnya ingin saja tadi aku menjawab “ya”, bahwa kamu sedang sibuk. Tapi ada 1 kata yang membuatku mengurungkan hal itu. “Pacar”. Kamu bukan kekasihku lagi. Ingin hati mengakui, tapi berat karena faktanya tidak demikian.

Aku menikmati hidangan dengan hikmat. Rasa makanannya tak ada yang beda. Minumannya juga. Nikmat dan enak seperti biasa. Hanya saja, memikirkan kamu yang biasanya duduk di hadapan atau disebelahku membuat selera makanku tak seantusias yang kuharapkan saat diperjalanan menuju tempat ini tadi. Aku menyudahi makan dan minumku dengan seperempat porsinya yang bersisa di piring.

Sekeluarnya aku dari rumah makan itu, kupasangkan jaket dan helm. Kutengadahkan kepala ke atas. Aku tau bahwa hujan sebentar lagi tiba, dan aku tak membawa jas hujan. Dalam hati aku bersyukur, jika saja hujan, aku tak takut untuk menangis dan ada orang lain yang melihat dari helmku yang transparan. Karena aku yakin tak ada yang mau sibuk-sibuk memerhatikan aku sementara hujan sedang turun.

Saat dijalan aku memang memikirkanmu. Belum ada 5 menit dari rumah makan tadi. Sampailah aku di perempatan lampu merah di daerah dimana kamu dulu suka menghabiskan waktu untuk bermain futsal. Lalu, benar adanya tentang apa yang kuduga tadi. Hujan.

Aku tidak tau apa yang salah dengan hujan, asal kamu tau saja, hujan adalah 1-1 nya cuaca yang paling berpotensi membuat aku menangis. Kau pikir aku mengidap bipolar? Mungkin saja.

Pelan dan pelan, air mataku perlahan keluar. Sementara hujan masih enggan untuk berhenti membasahi bumi. Ini pertama kalinya aku pulang mandi hujan.Kaca helmku mulai mengabur akibat air hujan. Tetap kupacu kendaraanku di jalanan yang mulai sepi karena hujan.

Kembali aku mengingat kamu. Jika hujan tiba, kamu segera mengajakku berteduh dulu. Aku suka sekali bentuk perhatianmu yang tampak khawatir jika air hujan sudah mulai mengguyur tubuhku. Dan kamu selalu jadi sosok yang selalu menghangatkanku dengan jaket coklatmu yang sejujurnya kebesaran di badanku. Tapia apa kamu tau? Aku selalu suka mencium aroma tubuhmu lewat jaketmu itu. Belum lagi rasa hangat yang ditimbulkannya.

Terimakasih masih ada di kepalaku. Sampai akhirnya tiba kita untuk bertemu lagi, aku cuma ingin kamu tau bahwa aku selalu merindukan kamu, pasti—meski aku tau saat itu kamu sudah menggandeng penggantiku.


Selamat malam, kamu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar