Entah angin apa yang membawaku ke
tempat dimana aku dan kamu dulu menghabiskan senja sambil membiarkan malam
pelan-pelan datang menghampiri. Hmmm, mungkin rindu.
Aku pergi ke tempat kita biasa
berbagi cerita sambil melepas rasa lapar dan dahaga. Aku pergi ke rumah makan
yang terbilang biasa saja dan bisa dikatakan masih tegolong sederhana, tempat
kita biasanya makan sambil bercanda ria. Berdua.
Sore ini, keadaan rumah makan ini
tidak terlalu ramai. Katakanlah sepi. Jam monolog yang melingkar di tangan
kiriku menunjukkan 6.20. Hanya ada 2 pembeli yang minta dibungkuskan
pesanannya. Tumben. Mungkin karena hari sudah mendung. O ya, dan 1 lagi
laki-laki yang sedang menyantap batagor di meja depan. Bisa kulihat bagaimana
dia sedikit terburu-buru menghabiskan makanan dan meneguk es teh di mejanya.
Mungkin dia sedang dikejar waktu atau takut kehujanan pikirku.
Kali ini, aku (tentu) tidak pergi
bersamamu lagi ke sana. Karena kisah kita sudah berbeda. Ini bukan kali pertama
aku ke sana sendirian tanpa kamu. Namun, rasa janggal itu belum juga hilang.
Apalagi pegawai yang sudah familiar dengan wajahku akhirnya menanyakan hal yang
sebenarnya tak ingin aku dengar. Dia bertanya kenapa aku datang sendirian. Ah,
aneh kan? Ini bukan kali pertama aku sendiri ke sini. Tapi perempuan yang biasa
aku sapa dengan “mbak” dan yang biasa memasakkan nasi goreng kesukaan kita
berdua menanyakan hal ini (lagi). Ya, lagi. Karena waktu pertama aku sendirian
ke tempat ini, dia juga menanyakan hal yang sama.
Aku hanya bisa menjawab bahwa teman-temanku
sedang sibuk, meski aku tau yang dimaksud perempuan yang mungkin berumur 25
tahunan itu adalah kamu, yang biasanya ada bersama aku di meja nomor dua dari
belakang, tempat kesukaan kita untuk duduk.
Aku ingat makanan kesukaan kamu di
tempat ini adalah nasi goreng dan es campurnya. Pun, aku demikian. Terkadang aku
memesan es teler, dan kamu dengan gayamu yang mungkin bisa aku bilang imut
untuk laki-laki seperti kamu menggodaku karena aku tidak memesan minuman yang
sama dengan apa yang kamu pesan. Aku ingat bagaimana kamu bercanda dan bilang
“Nggak boleh minta ya”, sambil menyunggingkan senyum kamu yang manis itu. Jika
saja aku bisa terbang, aku akan pergi ke tempat kamu berada sekarang hanya
untuk melihat kamu tersenyum meski harus mengudara, dan menguntitmu dari jauh.
Ini sudah hampir satu tahun, namun
rasanya perasaan kehilangan ini masih erat tertancap; tak mau lepas.
Segera aku pasang earphone dan
memainkan lagu lewat ipod yang aku bawa dari rumah, dan yah, lagu yang pertama
terputar adalah lagu dari Tulus yang judulnya Sepatu. Aku penasaran apa kamu
sudah mendengar lagu ini? Aku penasaran apa kamu juga merasa miris saat
lirik-lirik lagu ini dilantunkan?
Sampailah
aku ke bagian akhir lagu;“Kita sadar ingin
bersama. Tapi tak bisa apa-apa. Kita sadar ingin bersama. Tapi tak bisa
apa-apa. Terasa lengkap bila kita berdua. Terasa sedih bila kita di rak
berbeda. Di dekatmu kotak bagai nirwana. Tapi saling sentuh pun kita tak
berdaya. Cinta memang banyak bentuknya. Mungkin tak semua bisa bersatu.”
Saat lagu tersebut
selesai dilantunkan, segera kumatikan benda kecil persegi empat berwarna silver
itu dan kumasukkan ke sakuku. Aku sadar rasanya ada bendungan air yang hendak
tumpah dari pelupuk mataku. Ingin sekali aku membiarkannya jatuh begitu saja,
tapi itu tidak kulakukan. Pertanyaannya adalah apa laki-laki seperti kamu harus
kutangisi lagi dan lagi? Sementara kamu disana tidak pernah mengabariku. Oh,
mungkin seharusnya tidak. Toh kita sudah berpisah. Sudahlah.
Tak lama berselang,
pesananku datang. Aku tersenyum seperti biasa dengan mbak yang tidak kutau
namanya. Sebetulnya dari banyaknya frekuensi aku datang ke tempat ini, aku
belum mengenal 1 nama pun dari pegawai yang ada disini. Karena mereka tidak
mengenakan name tag, meskipun mereka memagai seragam.
Aku terkejut saat es
telerku datang. Bukan soal es telernya, tapi pertanyaan mas-mas yang memang
bagiannya di minuman bertanya “Pacarnya sibuk ya, Mbak? Nggak pernah liat
lagi.”
Mendengar bagaimana
laki-laki berseragam kemeja hijau itu bertanya, sebagai jawaban aku hanya
tersenyum saja dan mengucapkan terimakasih, dan segera mengalihkan pandangan ke
hidangan yang sudah tersedia di depanku.
Ingin rasanya aku menghambur ke luar
dan segera pulang, tapi hal konyol itu tidak aku lakukan mengingat bagaimana reaksi-reaksi
pegawai tempat makanan kesukaan aku ini. Mungkin mereka akan menganggap aku
sebagai ABG labil, atau wanita gila.
Sebenarnya ingin saja tadi aku
menjawab “ya”, bahwa kamu sedang sibuk. Tapi ada 1 kata yang membuatku
mengurungkan hal itu. “Pacar”. Kamu bukan kekasihku lagi. Ingin hati mengakui,
tapi berat karena faktanya tidak demikian.
Aku menikmati hidangan dengan
hikmat. Rasa makanannya tak ada yang beda. Minumannya juga. Nikmat dan enak
seperti biasa. Hanya saja, memikirkan kamu yang biasanya duduk di hadapan atau
disebelahku membuat selera makanku tak seantusias yang kuharapkan saat
diperjalanan menuju tempat ini tadi. Aku menyudahi makan dan minumku dengan
seperempat porsinya yang bersisa di piring.
Sekeluarnya aku dari rumah makan itu,
kupasangkan jaket dan helm. Kutengadahkan kepala ke atas. Aku tau bahwa hujan
sebentar lagi tiba, dan aku tak membawa jas hujan. Dalam hati aku bersyukur,
jika saja hujan, aku tak takut untuk menangis dan ada orang lain yang melihat
dari helmku yang transparan. Karena aku yakin tak ada yang mau sibuk-sibuk
memerhatikan aku sementara hujan sedang turun.
Saat dijalan aku memang
memikirkanmu. Belum ada 5 menit dari rumah makan tadi. Sampailah aku di
perempatan lampu merah di daerah dimana kamu dulu suka menghabiskan waktu untuk
bermain futsal. Lalu, benar adanya tentang apa yang kuduga tadi. Hujan.
Aku tidak tau apa yang salah dengan
hujan, asal kamu tau saja, hujan adalah 1-1 nya cuaca yang paling berpotensi
membuat aku menangis. Kau pikir aku mengidap bipolar? Mungkin saja.
Pelan dan pelan, air mataku perlahan
keluar. Sementara hujan masih enggan untuk berhenti membasahi bumi. Ini pertama
kalinya aku pulang mandi hujan.Kaca helmku mulai mengabur akibat air hujan.
Tetap kupacu kendaraanku di jalanan yang mulai sepi karena hujan.
Kembali aku mengingat kamu. Jika
hujan tiba, kamu segera mengajakku berteduh dulu. Aku suka sekali bentuk
perhatianmu yang tampak khawatir jika air hujan sudah mulai mengguyur tubuhku.
Dan kamu selalu jadi sosok yang selalu menghangatkanku dengan jaket coklatmu
yang sejujurnya kebesaran di badanku. Tapia apa kamu tau? Aku selalu suka
mencium aroma tubuhmu lewat jaketmu itu. Belum lagi rasa hangat yang
ditimbulkannya.
Terimakasih masih ada di kepalaku.
Sampai akhirnya tiba kita untuk bertemu lagi, aku cuma ingin kamu tau bahwa aku
selalu merindukan kamu, pasti—meski aku tau saat itu kamu sudah menggandeng
penggantiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar