Melva Sari Simangunsong

Dear people, this blog is not truly and merely about me n my life only. I am a random-post-writer. So I post everything in my mind.The thing that I wrote is not all about me, n not all about you. Thanks. :)

Selasa, 16 Desember 2014

Sebuah Surat di Malam Hari

Kepada kamu laki-lakiku yang beraroma manis semanis coklat.

Aha, aku tak tau bagaimana harus menjelaskan bagaimana wangi parfummu. Sebenarnya itu tak seperti coklat, aku hanya tak tau bagaimana menjelaskannya selain dengan makanan kesukaanku itu. Kau membuatku candu. Kau seperti coklat. Kau manis. Sungguh!

Kau baca baris pertama tulisanku di atas kan? Iya, itu untuk kamu. Laki-lakiku. Boleh aku panggil demikian?
Aku tau aku bukanlah kekasihmu, dan juga sebaliknya. Aku hanya suka mengalamatkan panggilan itu untuk kamu. Sekali lagi biar kutegaskan, terkhusus untuk kamu. Dan kupikir-pikir apa yang kita jalani selama 18 bulan terakhir sudah cukup memberikan image bahwa kita adalah sepasang kekasih. Untuk setiap obrolan, guyonan, percakapan serius, dan setiap pertengkaran yang tak jarang membuatku meneteskan air mata.

Kita tidak berpacaran. Tapi, apa status selalu jadi prioritas? Kita lebih dari status ‘pacaran’. Aku hanya tak ingin seperti beberapa dari mereka, yang mengaku berpacaran, tapi faktanya seperti sedang bermusuhan. Lihat kita! Aku bukannya bermaksud mau menyombongkan hubungan tanpa status ini, tapi aku lebih ingin mensyukurinya.

Terimakasih untuk tidak pernah mendesakku berada dalam sebuah status yang mungkin nanti akan kita sesali. 
Hm,,, kau bingung dengan pernyataanku barusan?

Begini, aku sudah terlalu lelah dengan yang namanya sakit hati. Kita sudah pernah membicarakan hal ini sebelumnya kan? Aku hanya tak ingin ada kata “pisah” untuk kita. Sungguh.
Baiklah, ini bukan berarti aku tidak yakin dengan kemampuan kita untuk sama-sama bertanggung jawab dengan hubungan yang (sebenarnya belum) kita bangun. Hanya saja, masa depan tidak ada yang tau. Ya kan?

Aku tau, status yang masih tercap bagi kita berdua adalah “teman.” Namun bisa kujamin bahwa aku hanya punya kamu sebagai laki-laki yang kubawa dalam doaku. Bahwa aku hanya punya kamu dalam setiap lamunanku tentang hidup di masa depan nanti. Dan, kuharap kau sadar bahwa aku juga menginginkan kamu demikian.

Terimakasih untuk mengerti tentang ketakutanku akan kata “perpisahan.” Terimakasih untuk pemahamanmu tentang kesiapan hati. 

Kepada kamu yang selalu tampak gagah bagiku…
Sebuah surat pendek ini sebenarnya hanya untuk melegakan hatiku tentang kerinduanku untuk bertemu kamu, dan benar-benar bisa bersatu denganmu pada akhirnya.
Hmm, sudah berapa lama waktu yang kau habiskan di ujung negri sana?
1 tahun berlalu dan kamu belum kembali. Apa kamu tak rindu?

Aku selalu merasa senang dan bahkan tak jarang tersipu malu mendengar berat suaramu saat kau membangunkanku di pagi hari jika memang kebetulan kau yang menjumpai surya terlebih dahulu. Yah, walau sebenarnya aku yang sering membangunkanmu. Hahaha. J Aku selalu rindu saat kamu mulai mendumeliku dengan ocehanmu yang menurutku malah bernada manja saat aku malas beranjak bangun dari kasurku.

Dan…aku memang senang mendengar suaramu lewat sambungan telefon rumah yang terpasang di meja kamarku. Tapi hey, kau jelas tau kan bahwa aku jauh lebih senang menemuimu? Secara langsung. Bukan lewat mimpi. Bukan dengan kabel-kabel elektronik yang terpasang ke telefon ataupun komputer pribadiku.


Kembalilah! Jangan berlama-lama disana.
Aku rindu berjalan-jalan sore dengan es krim coklat yang terkadang berantakan di bibir kita berdua. Aku rindu menapaki jalan setapak kearah rumahmu sambil bercerita bagaimana pegalnya jari-jarimu karena sering bermain gitar. Aku rindu mendengar celotehanmu tentang semua hal yang terjadi dihidupmu.

Aku rindu melihatmu lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar