Kepada
kamu laki-lakiku yang beraroma manis semanis coklat.
Aha,
aku tak tau bagaimana harus menjelaskan bagaimana wangi parfummu. Sebenarnya
itu tak seperti coklat, aku hanya tak tau bagaimana menjelaskannya selain
dengan makanan kesukaanku itu. Kau membuatku candu. Kau seperti coklat. Kau
manis. Sungguh!
Kau
baca baris pertama tulisanku di atas kan? Iya, itu untuk kamu. Laki-lakiku.
Boleh aku panggil demikian?
Aku
tau aku bukanlah kekasihmu, dan juga sebaliknya. Aku hanya suka mengalamatkan
panggilan itu untuk kamu. Sekali lagi biar kutegaskan, terkhusus untuk kamu.
Dan kupikir-pikir apa yang kita jalani selama 18 bulan terakhir sudah cukup
memberikan image bahwa kita adalah sepasang kekasih. Untuk setiap obrolan,
guyonan, percakapan serius, dan setiap pertengkaran yang tak jarang membuatku
meneteskan air mata.
Kita
tidak berpacaran. Tapi, apa status selalu jadi prioritas? Kita lebih dari
status ‘pacaran’. Aku hanya tak ingin seperti beberapa dari mereka, yang
mengaku berpacaran, tapi faktanya seperti sedang bermusuhan. Lihat kita! Aku
bukannya bermaksud mau menyombongkan hubungan tanpa status ini, tapi aku lebih
ingin mensyukurinya.
Terimakasih
untuk tidak pernah mendesakku berada dalam sebuah status yang mungkin nanti
akan kita sesali.
Hm,,, kau bingung dengan pernyataanku barusan?
Hm,,, kau bingung dengan pernyataanku barusan?
Begini,
aku sudah terlalu lelah dengan yang namanya sakit hati. Kita sudah pernah
membicarakan hal ini sebelumnya kan? Aku hanya tak ingin ada kata “pisah” untuk
kita. Sungguh.
Baiklah,
ini bukan berarti aku tidak yakin dengan kemampuan kita untuk sama-sama
bertanggung jawab dengan hubungan yang (sebenarnya belum) kita bangun. Hanya
saja, masa depan tidak ada yang tau. Ya kan?
Aku
tau, status yang masih tercap bagi kita berdua adalah “teman.” Namun bisa
kujamin bahwa aku hanya punya kamu sebagai laki-laki yang kubawa dalam doaku.
Bahwa aku hanya punya kamu dalam setiap lamunanku tentang hidup di masa depan
nanti. Dan, kuharap kau sadar bahwa aku juga menginginkan kamu demikian.
Terimakasih
untuk mengerti tentang ketakutanku akan kata “perpisahan.” Terimakasih untuk
pemahamanmu tentang kesiapan hati.
Kepada
kamu yang selalu tampak gagah bagiku…
Sebuah
surat pendek ini sebenarnya hanya untuk melegakan hatiku tentang kerinduanku
untuk bertemu kamu, dan benar-benar bisa bersatu denganmu pada akhirnya.
Hmm,
sudah berapa lama waktu yang kau habiskan di ujung negri sana?
1
tahun berlalu dan kamu belum kembali. Apa kamu tak rindu?
Aku
selalu merasa senang dan bahkan tak jarang tersipu malu mendengar berat suaramu
saat kau membangunkanku di pagi hari jika memang kebetulan kau yang menjumpai
surya terlebih dahulu. Yah, walau sebenarnya aku yang sering membangunkanmu.
Hahaha. J
Aku selalu rindu saat kamu mulai mendumeliku dengan ocehanmu yang menurutku
malah bernada manja saat aku malas beranjak bangun dari kasurku.
Dan…aku
memang senang mendengar suaramu lewat sambungan telefon rumah yang terpasang di
meja kamarku. Tapi hey, kau jelas tau kan bahwa aku jauh lebih senang
menemuimu? Secara langsung. Bukan lewat mimpi. Bukan dengan kabel-kabel
elektronik yang terpasang ke telefon ataupun komputer pribadiku.
Kembalilah!
Jangan berlama-lama disana.
Aku
rindu berjalan-jalan sore dengan es krim coklat yang terkadang berantakan di
bibir kita berdua. Aku rindu menapaki jalan setapak kearah rumahmu sambil
bercerita bagaimana pegalnya jari-jarimu karena sering bermain gitar. Aku rindu mendengar celotehanmu tentang semua hal yang terjadi dihidupmu.
Aku
rindu melihatmu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar