Siang ini aku
menghabiskan lunch time ku di restaurant sederhana dekat kantorku. Aku
baru saja menginjak bulan ke tiga bekerja sebagai seorang jurnalis di majalah
mingguan yang sedang naik daun 3 minggu belakangan ini. Aku menulis di kolom
life style yang berhubungan dengan makanan sehat. Terkadang aku juga dihadiahi
topik-topik fashion yang sedang in di negara lain, seperti
Indonesia, negara kelahiranku. Ahaa, kau sedang memikirkan hal yang sama
denganku? Ah, percayalah, aku hanya menulis karena aku sedikit tahu dan itu
juga merupakan tuntutan pekerjaanku.
Soal selera makanan, hmmm, menu-menu makanan yang manis dan
berlemak selalu jadi makanan favoritku. Syukurnya, Neptunus berpihak padaku,
aku tidak mengalami lipatan-lipatan lemak mengerikan di perutku. Hahaha. Dan
fashion? Hulala! Aku bukan typical orang yang fashionable. Hanya saja aku suka
membahas gaya berpakaian orang timur dengan beberapa jurnalis fashion lain di
kantor tempatku bekerja. Mereka menganggap terkadang aku datang dengan ide
brliant dengan pattern eastern-wear yang kubicarakan, seperti batik, kebaya dan
songket yang dipadu-padankan jadi pakaian modern teranyar di negara dengan 33
provinsi itu. Entahlah, mungkin dunia memang begitu. Saat orang timur
mengatakan orang barat itu keren dengan pakaiannya yang serba simple namun
sophisticated, orang barat sebaliknya berpikiran bahwa orang timur tampil
dengan sentuhan kultur yang mumpuni dan cantik. Begitu katanya.
Refrain lagu Love Me Like You Do dari Ellie Goulding terputar di
telfon genggamku persis saat aku baru saja memutar kenop pintu
kaca yang dibingkai mahoni bercat warna bisque. Aku segera mengambil tempat
duduk yang berada tak jauh dari perapian. Musim dingin belum dimulai, tapi
bagiku yang masih tergolong pendatang, udara di luar cukup menggigit kulitku
meski sudah dilapisi dengan long coat dan leg boots.
Kumatikan dering handphoneku tanpa membaca pesan tersebut lebih
dahulu. Aku sibuk mengamati perapian kecil yang tak jauh berada didekatku. Aku
suka restaurant ini. Bata merah yang tersusun dengan rapi sebagai dindingnya
serta beberapa lukisan dengan tema alam membuat restaurant kecil ini terasa
homey sekali untukku. Kursinya juga empuk. Tak besar, namun nyaman. Belum lagi
Clark, dan Tina, 2 dari 4 pelayan yang senyumnya selalu ceria itu. Kuakui
sebenarnya para pelayan disini ramah sekali, namun hanya mereka berdua yang
sempat kulirik name-tag nya, dan kebetulan mereka berdua yang biasanya melayani
perut laparku. Oh iya, satu lagi, mawar putih yang selalu ada di tiap meja. Aku
jatuh cinta pada tempat ini dan tentu saja menu-menunya yang lezat namun tidak
membuat kantongku kehabisan nafas.
Tiga bulan berlalu, dan lidahku sudah terbiasa dengan
kuliner yang ditawarkan Joplin untuk food-hunter sepertiku. Kau bisa
sebut aku sebagai pemakan segala, karena kecintaanku pada makanan. Hahaha.
Kubuka pesan singkat yang tadi masuk, ternyata Mr. Richard. Dia
adalah editorku yang sangat sabar menghadapi newbie sepertiku. Dia juga
merupakan sebuah alarm bagiku. Mengingatkanku kapan saja deadline
tulisanku harus segera sampai ke tangannya, seperti saat ini. Kubaca pesan yang
berisi 2 layar tersebut. Aku hanya membacanya, tanpa membalasnya. Nanti saja
pikirku.
Segera Tina menghampiriku dengan celemek merah menyoloknya itu.
Dia tetap terlihat cantik dengan baju apa saja, begitu kataku dalam hati. Aku bisa
melihat deretan gigi putih nan rapi berjejer di dalam mulutnya saat dia menyapa
dan menanyakan kalimat sederhana yang sama seperti 3 hari belakangan, “jadi,
mau apa hari ini nona?”. Tina sepertinya sedang sibuk minggu ini. Biasanya dia
menyempatkan 2 menit pertamanya untuk menjelaskan menu utama yang ditawarkan
setiap hari yang tentu saja berbeda. Atau, mungkin saja dia tidak melakukan itu
karena dia sudah yakin aku sudah hafal dengan setiap menu yang disediakan
restaurant ini, dan sudah tau dengan menu utamanya. Ah, entahlah.
Baik, kali ini aku memesan smoke mozzarella fonduta, fresh salad Italian dressing, dan chicken and gnocchi yang tidak lupa ditemani air putih hangat serta aperitivo non alkohol; minuman yang biasanya diminum orang Italia untuk menggugah
selera makan. Heran dengan makanan dan minuman itu? Simple saja,Aku sedang mood dengan kuliner Italia.
Sambil menunggu pesananku datang aku mengeluarkan netbook cokelatku dari handbag Hermes yang kusampirkan seenaknya saat aku
datang. Segera saja kusambungkan dengan jaringan wifi yang password nya terdiri dari 12 digit yang sudah kuhafal dengan
baik. Kubalas beberapa surel yang masuk, beberapa pertanyaan dari orang-orang
tak dikenal di ask.fm ku, dan mention twitter yang rata-rata berasal dari teman-temanku
yang berada di negara maritim sana, tempat dimana aku berasal.
Nada dering sms ku kembali terputar. Ternyata dari Kath, isinya
“Hey, An! Chris mengirimu salam. Dia menyuruhku agar kau tak lupa makan dan
bernafas. Hahaha. Maafkan kakakku yang aneh itu. Dia hanya takut kau jatuh
sakit. Kau masih jadi ratu dihatinya. Oh ya, semangat untuk deadlinemu ya. Maaf
aku tak bisa menemanimu lunch. With love, Kath”. Aku tersenyum membaca deretan
huruf yang tercetak hitam di layar telfonku. Kujawab dengan emoticon wink ;)
saja. Berharap kalau itu bisa memberinya sinyal bahwa aku terlalu bersemangat
untuk menerima pesannya, terutama pesan dari Chris. Hahaha.
Chris,,,
Dia adalah kakak Kath. Kath yang mengajakku bekerja disini,
dibisnis keluarganya. Mantan calon adik iparku itu memang sudah menganggapku
saudara perempuannya. Begitu juga sebaliknya. Aku menyayangi Chris dan
keluarganya sama seperti aku menyayangi keluargaku.
Mungkin, bila saja Chris tidak membuat ulah dengan temanku, aku
sudah bertunangan degannya. Mungkin. Wanita mana yang tidak sakit hati saat tau
bahwa lelakinya justru berselingkuh dengan wanita lain. Terlebih wanita itu
adalah teman baikku saat aku SMP. Hahaha. Sudahlah, aku sudah berdamai dengan
hatiku. Chris pun menyesal dengan tingkahnya yang diakuinya sebagai kebodohan
terbesar yang pernah dilakukannya selama 2 tahun menjalin hubungan denganku.
Begitu pula dengan temanku itu.
Aku memang masih memberinya kesempatan. Namun ya dengan cara
seperti ini. Kami tidak pernah berkomunikasi secara langsung. Ini sudah
menginjak bulan ke 6. Aku berencana setidaknya berada selama 2 tahun berada di
negara ini sebelum kembali pulang menemuinya. Aku berharap dia punya waktu yang
banyak untuk memperbaiki dirinya plus meniti karirnya sebagai seroang pengusaha
muda. Kuharap waktu bisa menjawab keraguanku.
Usai laporan “sent” muncul di layar handphoneku yang berwarna charcoal black itu, Tina kembali
datang. Tentu saja dengan nampan silvernya yang ditempati pesananku yang hampir
saja membuatku menumpahkan air liur kalau saja aku tak ingat ini tempat umum.
Aku meneguk air putih hangat yang berada didalam gelas bening yang cukup besar.
Aku menikmati makan siangku dengan hikmat dan nikmat. Orasi
cacing-cacing diperutku berhasil terhenti oleh kelezatan makanan-makanan ini.
Usai makan, aku tak perlu terburu-buru beranjak dari tempat ini.
Aku masih punya waktu 45 menit sebelum jam kerja kembali dimulai. Aku kembali
mengedit tulisanku yang kurencanakan diserahkan kepada Mr.Richard setibanya aku
di kantor. Mengirimi mama pesan singkat bahwa anak semata wayangnya ini sudah
kenyang dan akan kembali bekerja. Hm, aku hanya tak ingin mamaku khawatir bahwa
putrinya ini mati kelaparan karena jadwal pekerjaan yang sedang ruwet di
kantor. Sengaja tak menelfon karena aku tau mama sedang berada di pesta
pernikahan sepupuku, seperti yang dibicarakan mama dan papa semalam lewat
telfon.
Hey, Joplin!!!
Aku tidak tau bagaimana hidupku selanjutnya disini. Can you just be good to me? I hope Kath will
always be there to support me. I hope Mr.Richard always remember to get rid of
his beard every twice a week. FYI, his thick beard sometimes makes me afraid to
talk with him, especially when he gets mad. LOL. N Chris, I hope we are fine
with our path right now. I wish you were here. I wish you knew that I missed
you.
Good afternoon, you.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar