“Hi, suka baca Conan ya?”
Ah, Neptunus! Pekikku dalam
hati.
Aku sedang berada di sebuah
toko buku ternama di kota ini. Toko buku ini adalah satu-satunya toko buku
paling lengkap dan paling nyaman menurutku, pun menguntungkan. Kau bisa mendapatkan
potongan harga dengan bergabung menjadi anggota, belum lagi jika bulan baca tiba.
Kau bisa panen diskon hingga 70%. Disini nyaman dan tenang. Pengunjungnya rata-rata
kutu buku di domain tingkat Dewa dengan kacamata minus 1-7, kutebak saja demikian.
Mereka khusuk sekali dengan lembaran-lembaran HVS yang ada di depan mata. Oh
ya, disini yang menurutku paling menarik adalah tersedianya tester, ah aku lupa
entah apa istilahnya. Buku yang bisa kau baca keseluruhannya. Pengelola toko
buku ini adalah orang baik bagiku. Bayangkan saja, aku dan pengunjung lainnya
kadang tak membeli 1 buku pun. Kami hanya membaca buku-buku di stan yang memang
menjadi konsumsi publik. Menyenangkan bukan?
Ah, sampai dimana tadi aku?
Oh ya, merutuki diriku
sendiri.
Bisa kulihat dari jarak 8
meter dia berdiri dengan jeans belel navy dan t-shirt putih polosnya. Dia
selalu saja begitu. Berhasil menghipnotisku dengan gayanya yang santai. Bisa mati
aku jika aku maju lebih dekat dan berdiri disampingnya. Aku bisa mati konyol
karena kehabisan nafas dengan berpikir bahwa medan gravitasiku hilang bila
berada didekatnya.
Plak. Kutepuk jidatku
dengan “Bulan”-nya Tere Liye. Kuperhatikan lagi, ia masih terlihat begitu
menikmati alunan lagu dari earphone nya yang berwarna hijau hitam itu. Kau suka
lagu apa sih sampai sebegitu menikmatinya? Kau selalu terlihat asik dengan
duniamu sendiri selama aku memata-mataimu hampir 4 bulan belakangan. Apa kau
suka Taylor Swift sepertiku? Kau suka Michael Bubble? Ed Sheeran? The Red
Jumpsuit Apparatus? Simple Plan? Jason Derulo?Bruno Mars? Secondhand Serenade? Atau? Kau suka Ayu
Ting-ting? Ah, tidak. Kau terlalu macho untuk mengidolakannya. Entah apapun
genre dan penyanyi favoritmu bisa kupastikan aku juga bakalan cinta mereka bila
melihat kenyamananmu dan ayunan pelan kepalamu dengan alunan doremi dari mereka.
Sudah hampir 4 bulan.
Konyol dan tolol.
Aku masih saja disini.
Menatapmu dari kejauhan. Berharap kau menegur walau hanya sekedar menanyakan
apa aku tau Conan edisi terbaru sudah available atau belum. Atau sekedar
melemparkan senyum saja. Huuuh. Kumaki lagi diriku dalam hati. Kenapa aku
terlalu bodoh mengagumimu dalam diam seperti ini? Dan kau… selalu tenang
seperti danau di dekat rumahku yang dulu.
Aku pura-pura menyibukkan
diri dengan membaca karya Armani Junior. Tapi tetap saja ekor mataku tak lepas
memburu langkahmu yang mulai meninggalkan stan komik dan beralih ke deretan
Biografi dengan membawa komik yang kutebak adalah favoritmu. Kulihat kau sepertinya
tak tertarik untuk lama-lama disana. Sebentar kau angkat 1 buku, lalu tak
sampai 2 menit kau menaruhnya kembali. Apa
kau mulai bosan?
Biasanya kau berada paling
tidak 2 jam disini. Tunggu. Ok, kau pernah berada disini tak sampai 1 jam.
Mungkin waktu itu kau sedang terburu-buru. Karena seingatku kau terlibat dalam
percakapan pendek lewat telfon dengan seseorang, yang jelas saja tak kutahu
siapa. Tapi kuharap dia bukan pacarmu, karena selama 8 kali kutemui kau disini
kau selalu sendiri.
O-ow, aku bahkan ingat berapa banyak frekuensi kali
pertemuan kita. Jujur saja, aku akui aku memperhatikan jadwalmu kesini. Biasanya
kau datang kesini saat akhir pekan, atau juga Rabu. Aku mungkin sudah gila
menggilaimu sebegininya.
Aku akhirnya terpaksa
mengakhiri aksi mata-mataku. Takut ketahuan. Takut kalau kau tahu. Takut kalau kau
akan melaporkanku ke polisi karena mengganggu kenyamananku. Tidak. Aku terlalu
berpikir kejauhan. Aku adalah seorang pengintai yang baik. Dari gerak-geriknya
selama ini juga kurasa dia tidak mencium adanya aksi penguntitan dariku.
Aku hanya bisa terduduk
lemas di dekat stan resep makanan. Kusandarkan punggungku ke bagian resep
pembuatan jajanan pasar. Entah bagaimana aku bisa sampai ke sini. Kututup
mukaku masih dengan “Bulan” dari Tere Liye. Dasar bodoh!
Tap… tap… tap…
Kudengar ada derap langkah
yang menuju ke arahku. Mungkin saja itu adalah pramuniaga yang hendak menyarankanku
untuk duduk di bangku panjang di dekat buku-buku umum tak jauh dari tempatku
berada sekarang. Persis seperti 2 minggu lalu. Karena saat itu juga aku hanya
bisa menghempaskan diriku ke ubin-ubin putih yang pasti setiddaknya di pel 2
kali sehari.
Kutarik nafas panjang dan
kucoba mengumpulkan kembali nyawaku. Pelan-pelan kubuka mataku dan kusingkirkan
buku dari mukaku.
Ups…
Tangannya dijulurkan ke
arahku. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya. Aku masih terdiam membeku. Lidahku kelu.
Melihat ekspresi tololku dia malah berjongkok di depanku.
“Apa kau baik-baik saja?”
lanjutnya.
Dia. Iya!!! Dia, laki-laki
dengan tinggi sekitar 170cm yang kukagumi sekitar 4 bulan ini ada didepanku.
Kuharap dia tidak menyadari aku sudah sering memperhatikannya dari jauh.
Bisa kurasakan aku seakan
duduk melayang dan nafasku tercekat.
Mati aku!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar